Komentar :
Perlu diketahui
1. Surat edaran dikti bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen.
2. Edaran kedua bertanggal 27 Januari 2012 (Nomor 152/E/T/2012) perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 berlaku mulai kelulusan Agustus 2012.
kiranya PTAIS di lingkungan Kopertais Wilayah XI Kalimantan perlu menyikapi ini dengan menyiapkan sarana dan prasarananya, seperti di PTAIS ada Jurnal Ilmiah masing-masing.
perlu disadari lagi kalau berlaku kebijakan dikti ini melalui edaran ini maka waktu lulus mahasiswa akan bertambah lagi
KONSULTASI TTG ORG YG SDH MENINGGAL ATAU WAFAT DGN KELUARGANYA (PENGHUBUNG)
BLOK INI DIBUAT UNTUK MENJEMBATANI KELUARGA DENGAN ANGGOTA KELUARGANYA YG SUDAH MENINGGAL SEBAGAI SARANA BAGI ANAK UNTUK MENJADI ANAK YANG SHOLEH ATAU SHOLEHAH ATAU SARANA BAGI ORANG TUA MENYEMPURNAKAN ANAKNYA
Entri Populer
-
ISLAM INDONESIA DAN DIALOG ANTAR PERADABAN Oleh: Humaidy ABSTRAK Benturan peradaban Islam dengan Peradaban Modern akan teradi dalam wakt...
-
TUAN HUSEIN AL-BANJARI: AN ‘ALIM WHOSE IMPORTANT ROLE ...
-
Komentar : Perlu diketahui 1. Surat edaran dikti bertanggal 30 Desember 2011 (Nomor 250/E/T/2011) perihal kebijakan unggah karya ilmiah un...
-
Kebijakan Baru, Syarat Lulus S1, S2, S3 Harus Nulis di Jurnal Ilmiah Diposkan oleh Sigit Priambodo | Jumat, 10 Februari 2012 | Label: Hot To...
Senin, 12 Maret 2012
Rabu, 22 Februari 2012
KEBIJAKAN BARU DIKTI
Kebijakan Baru, Syarat Lulus S1, S2, S3 Harus Nulis di Jurnal Ilmiah
Diposkan oleh Sigit Priambodo | Jumat, 10 Februari 2012 | Label: Hot Topic |
Jakarta - Dunia pendidikan tinggi tersengat oleh surat Dirjen Dikti Kemendiknas yang mewajibkan mahasiswa menulis makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan jenjang S1,S2 dan S3. Anggota DPR dari Komisi X (Pendidikan), Rohmani, menilai kebijakan itu prematur.
Rohmani mengatakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti itu tidak melihat realitas dunia perguruan tinggi nasional. Tidak tepat bila dalam memutuskan sebuah kebijakan selalu berpatokan pada negara lain. Harus ada kajian kesiapan dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Apabila kebijakan yang baik tidak didukung oleh sumber daya yang ada maka kebijakan tersebut prematur. Dan hasilnya pun sia-sia.
“Kami memahami maksud Dikti untuk meningkatkan kapasitas dunia kampus. Menurut kami itu bagus. Alangkah baiknya, sebelum kebijakan itu diterapkan, infrastruktur untuk kebijakan tersebut dipersiapkan,” kata Rohmani dalam siaran pers, Kamis (9/2/2012).
Menurut politisi PKS ini, apabila sebuah kebijakan tidak didukung kesiapan masyarakat maka yang terjadi adalah penyimpangan. Hal ini yang seharusnya dipikirkan oleh Dikti. Ia khawatir akan banyak bermunculan jurnal yang tidak memenuhi standar. Pada saat yang sama akan menjamur jasa penulisan jurnal.
Langkah yang paling efektif, menurut Rohmani, untuk meningkatkan produktivitas jurnal ilmiah adalah dengan menyediakan fasilitas yang memadai. “Sebagai langkah awal, sebaiknya pemerintah menyediakan fasilitas. Terutama anggaran. Bagi dosen dan mahasiswa yang karyanya terpublikasi di jurnal nasional atau internasional maka harus disediakan honor yang layak,” kata Rohmani.
Untuk sebuah karya ilmiah, sebaiknya menggunakan pendekatan reward bukan paksaan. Menurut Rohmani, kebijakan Dikti ini menggunakan pendekatan memaksa.
Surat Dirjen Dikti yang dimaksud Rohmani adalah yang bernomor 250/E/T/2011 perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen dan surat edaran tanggal 27 Januari 2012 Nomor 152/E/T/2012 perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 sebagai syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012.
Bunyi surat Dirjen Dikti Djoko Santoso yang menyangkut syarat kelulusan adalah:
Sebagaimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlukan ketentuan sebagai berikut:
Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti
Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal Internasional.
Diposkan oleh Sigit Priambodo | Jumat, 10 Februari 2012 | Label: Hot Topic |
Jakarta - Dunia pendidikan tinggi tersengat oleh surat Dirjen Dikti Kemendiknas yang mewajibkan mahasiswa menulis makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan jenjang S1,S2 dan S3. Anggota DPR dari Komisi X (Pendidikan), Rohmani, menilai kebijakan itu prematur.
Rohmani mengatakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Dirjen Dikti itu tidak melihat realitas dunia perguruan tinggi nasional. Tidak tepat bila dalam memutuskan sebuah kebijakan selalu berpatokan pada negara lain. Harus ada kajian kesiapan dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Apabila kebijakan yang baik tidak didukung oleh sumber daya yang ada maka kebijakan tersebut prematur. Dan hasilnya pun sia-sia.
“Kami memahami maksud Dikti untuk meningkatkan kapasitas dunia kampus. Menurut kami itu bagus. Alangkah baiknya, sebelum kebijakan itu diterapkan, infrastruktur untuk kebijakan tersebut dipersiapkan,” kata Rohmani dalam siaran pers, Kamis (9/2/2012).
Menurut politisi PKS ini, apabila sebuah kebijakan tidak didukung kesiapan masyarakat maka yang terjadi adalah penyimpangan. Hal ini yang seharusnya dipikirkan oleh Dikti. Ia khawatir akan banyak bermunculan jurnal yang tidak memenuhi standar. Pada saat yang sama akan menjamur jasa penulisan jurnal.
Langkah yang paling efektif, menurut Rohmani, untuk meningkatkan produktivitas jurnal ilmiah adalah dengan menyediakan fasilitas yang memadai. “Sebagai langkah awal, sebaiknya pemerintah menyediakan fasilitas. Terutama anggaran. Bagi dosen dan mahasiswa yang karyanya terpublikasi di jurnal nasional atau internasional maka harus disediakan honor yang layak,” kata Rohmani.
Untuk sebuah karya ilmiah, sebaiknya menggunakan pendekatan reward bukan paksaan. Menurut Rohmani, kebijakan Dikti ini menggunakan pendekatan memaksa.
Surat Dirjen Dikti yang dimaksud Rohmani adalah yang bernomor 250/E/T/2011 perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen dan surat edaran tanggal 27 Januari 2012 Nomor 152/E/T/2012 perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 sebagai syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012.
Bunyi surat Dirjen Dikti Djoko Santoso yang menyangkut syarat kelulusan adalah:
Sebagaimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlukan ketentuan sebagai berikut:
Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah
Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti
Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal Internasional.
Senin, 20 Februari 2012
Minggu, 19 Februari 2012
ISLAM INDONESIA DAN DIALOG ANTAR PERADABAN
ISLAM INDONESIA DAN DIALOG ANTAR PERADABAN
Oleh: Humaidy
ABSTRAK
Benturan peradaban Islam dengan Peradaban Modern akan teradi dalam waktu yang tidak terlalu lama kata Samuel P. Huntington. Wacana ini banyak direspon berbagai kalangan terutama oleh kaum agawan dan intelektual muslim yang tidak setuju bahkan menolak ramalan tersebut. Penolakan tersebut memang ada benaarnya, tapi ramalan Huntington juga tidak terlalu salah. Jika dalam peradaban Islam dominant kaum muslimin yang intoleran dan dalam peradaban Barat dominant yang arogan benturan peradaban itu kemungkinan besar akan terjadi, sebaliknya ramalan Huntington tidak terjadi (keliru besar). Untuk semakin menjawab ramalan Huntington tersebut perlu adanya dialog antar peradaban dan Indonesia bisa menjadi actor penting sebagai penganut Islam terbesar di dunia.
Kata Kunci : Benturan Peradaban, Islam Intoleran Barat, Arogan dan dialog antar Peradaban.
Samuel P. Huntington pada tahun 1993 telah melontarkan ramalannya bahwa di dunia yang sudah mengglobal ini akan terjadi benturan peradaban (clash of civilization) terutama antara peradaban Barat dan peradaban Islam. (Huntington: 1998: 17) Tesis kontroversial sekaligus propokatif ini, telah mengundang begitu banyak tanggapan, gugatan dan bahkan hujatan dari berbagai negara melalui suara beberapa tokohnya.
Perdebatan wacana kemudian marak bergulir, dialektika terus mengalir, perang ide terjadi sangat seru dan geger, dari sejak pemunculannya sampai hari ini. Di antara tokoh para penanggap yang terdiri dari berbagai kalangan, barangkali intelektual agamawan adalah pihak yang paling keras menolak—dalam ekspresi kritis dan nada menghujat—gagasan yang mereka anggap tidak sekedar propokatif, melainkan sudah mengarah subversif, karena terkesan pada satu sisi sangat mendiskreditkan Islam dan pada sisi yang lain terlalu mengagungkan Barat. Di negara asalnya (Amerika Serikat) saja, tesis ala Huntington ini dikritik habis-habisan terutama oleh pakar-pakar ilmu dan aktifis sosial dari beragam sudut pandang. Asumsinya disorot, metodenya digugat, modelnya dikritisi, pendekatannya dikuliti dan datanya dicermati, hingga posisi keintelektualannyapun sempat diragukan dan dihujat.
Pada dasarnya yang menjadi titik sentral semua kritikan—kalau boleh diperas dan disimpulkan— terutama terkait dengan signifikansi tesis tersebut terhadap sensitivitas terhadap persoalan agama, budaya, sosial dan politik pasca perang dingin. Atas semua kritikan, gugatan dan hujatan itu, Huntington tidak serta merta menerimanya dan ia tak bergeming dari pendapatnya semula, bahkan ia masih mengunggulkan tesisnya (benturan peradaban Barat dan peradaban Islam) sebagai sebuah paradigma yang tetap reliable dan valid sebagai sarana menerangkan fenomena politik dunia global kontemporer dan masa depan. Huntington, tidak hanya bersikukuh dengan tesisnya itu, bahkan ia melakukan serangan balik bahwa semua kritikan, gugatan dan hujatan pada dirinya, sebenarnya muncul dari ketidak-pekaan dan ketidak-tahuan dalam menangkap apa yang disebut Habermas sebagai Zeitgeist (ruh zaman atau tanda-tanda zaman) sehingga keliru penafsiran dan over-estimate (prasangka berlebihan) terhadap apa yang ia tawarkan.
Ada dua alasan yang sangat ditekankan Huntington yakni arogansi Barat dan intoleransi Islam yang paling besar berperan bagi terjadinya benturan peradaban (Huntington: 1998: 17) terutama benturan peradaban Barat dengan peradaban Islam. Jika Barat tidak arogan dan Islam toleran atau Barat arogan dan Islam toleran atau Barat tak arogan dan Islam tidak toleran, maka kemungkinan besar tidak akan pernah terjadi benturan peradaban. Persoalannya bagaimana caranya untuk merumuskan Islam yang toleran, sehingga diharapkan tidak akan terjadi benturan peradaban Barat dengan peradaban Islam. Tulisan ini berupaya untuk ke arah sana, yakni bagaimana Islam Indonesia bisa berperan dalam dialog antar peradaban ?.
Peradaban dan Kebudayaan
Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban seringkali diberi arti sama dengan kebudayaan. Berbeda dengan bahasa Inggris, kata keduanya tidak bisa dikatakan sama, yakni civilization untuk kata peradaban dan culture untuk kata kebudayaan. Demikian juga dalam bahasa Arab hadlarah, tamaddun, ‘umran untuk kata peradaban dan tsaqafah untuk kata kebudayaan. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007: 13). Sebagian ahli peradaban mengatakan bahwa kebudayaan dipakai untuk menunjuk pada satu tahapan tertentu dari kemajuan dari suatu peradaban. Sebagian yang lain berpendapat bahwa peradaban merupakan tingkat perkembangan lebih lanjut atau lebih tinggi dari kebudayaan. Soerjono Soekanto (Guru Besar Sosiologi UI) mengatakan bahwa perbedaan kebudayaan dengan peradaban hanya terletak pada kemajuan dan kesempurnaan. Biasanya kebudayaan masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan tekhnologi yang lebih tinggi disebut sebagai peradaban. Hal ini senada dengan pendapat Effat Syarkai (cendikiawan Mesir) dalam uraian lebih rinci bahwa kebudayaan terefleksi dalam seni, sastra, religi dan moral, sedangkan peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.(Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007: 13)
Menurut Koentjaraningrat (Guru Besar Antropologi UGM) kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud yakni 1. Wujud Ideal yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai, norma, aturan dan sebagainya; 2. Wujud kelakuan, yaitu tata kelakuan yang terpola pada manusia dalam masyarakat; 3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Adapun istilah peradaban biasanya diapakai untuk menyebutkan bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah, berupa sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir : 2007: 14)
Sementara itu, menurut Nourouzzaman Shiddiqi (Guru Besar SKI UIN Sunan Kalijaga), kebudayaan adalah perpaduan yang terdiri atas cipta, rasa dan karsa. Kebudayaan berangkat dari akal batin manusia yang mendorong lahirnya pikiran-pikiran manusia untuk menciptakan kesenian, kesusastraan, moral dan lain-lain yang memenuhi hasrat manusia akan keindahan dan kebahagiaan hidup. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir : 2007: 14) Karena itu pula kebudayaan merupakan salah satu factor yang mengarahkan manusia dalam kehidupan, baik pada bidang agama, filsafat, ilmu pengetahuan politik, ekonomi, social, moral dan sebagainya. Oleh karena itu secara ringkas kebudayaan dapat pula diartikan sebagai perkembangan kecerdasan akal manusia pada suatu ruang dan waktu, sedangkan peradaban mengandung konotasi mengajar manusia hidup dalam satu masyarakat yang beradab, berprikemanusiaan, bersusila, berdisiplin dan sebagainya sesuai dengan derajat manusia sebagai makhluk termulia dan bermartabat tinggi. Dari pemahaman tersebut, peradaban dapat diartikan sebagai bentuk lahir dari perilaku manusia sebagai hasil dari dorongan kebudayaan yang berangkat dari akal batin dan proses pendidikan. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007 : 15)
Kemudian, Huntington secara lebih konperehensip dan detail merumuskan tentang unsur yang harus ada dalam peradaban. Menurutnya terdapat semacam satu kesepakatan dari berbagai ahli peradaban,— meskipun mereka berbeda perspektif, metodologi, titik tekan dan konsep-konsepnya—sekurang-kurangnya pada lima hal. Pertama, sebuah pembedaan -pembedaan dapat ditemukan di antara pelbagai peradaban, baik yang singular maupun yang plural. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif dan barbar. Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban adalah buruk. Kedua, sebuah peradaban adalah sebuah identitas kultural, tetapi bukan berarti kebudayaan sama dengan peradaban. Memang peradaban dan kebudayaan sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia, yang mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi dan pola-pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Namun peradaban lebih dari itu, ia lebih luas daripada kebudayaan, di samping berbagai kesamaan yang telah disebutkan tadi ia juga ditambah pelbagai faktor seperti faktor-faktor mekanis, teknologi, material termasuk di dalamnya kualitas intelektual dan moral yang lebih tinggi dari suatu masyarakat. Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat konperehensif yang tidak satupun dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Huntington memperkuat pendapat ini dengan mengutip Arnold Toynbee yang mengatakan bahwa setiap peradaban ternyatakan tanpa ternyatakan oleh yang lain. Sebuah peradaban adalah sebuah totalitas dari entitas paling luas dari kebudayaan yang terdiri dari perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, nasionalitas-nasionalitas dan pelbagai kelompok keagamaan yang heterogin. Keempat, peradaban bersifat fana, tetapi juga hidup sangat lama; ia berkembang, beradaptasi, dinamis, memuncak, mundur, jatuh dan bangkit kembali atau mati sama sekali. Kelima, karena peradaban merupakan kumpulan entitas kultural bukan kumpulan entitas politik, maka ia tidak berpegang pada tatanan, penegakan keadilan, kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai negosiasi atau menetapkan kebijakan-kebijakan yang biasa dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Namun ia berpijak pada kerja peradaban itu sendiri yang mencakup pelbagai faktor dan dimensi dengan berlandaskan atas semangat kebersamaan, kebaikan dan kemajuan. (Huntington: 1998: 38-46).
Jadi jelaslah sudah dari uraian para ahli peradaban di atas, bahwa peradaban lebih luas daripada kebudayaan. Dalam peradaban pasti sudah mencakup kebudayaan, tetapi dalam kebudayaan tidak dan belum mencakup peradaban. Keluasan peradaban bukan saja mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, aturan-aturan, ilmu pengetahuan, filsafat, seni, religi dan sebagainya yang menjadi wilayah cakupan kebudayaan, tetapi juga mencakup ekonomi, politik, teknologi dan sebagainya yang merupakan hasil lebih halus, indah dan maju dari kerja-kerja kebudayaan tadi. Lebih dari itu, peradaban juga mencakup beberapa kebudayaan, dua sampai beberapa wilayah, gabungan nasionalitas-nasionalitas, kumpulan etnis, kompleksitas keagamaan yang keseluruhannya mempunyai heterogenitas berderajat tinggi.
Islam bagian Peradaban Dunia
Peradaban dunia disimpulkan Melko -setelah meninjau kembali berbagai literatur yang berkaitan dengannya, terdiri dari kurang lebih 15 peradaban besar, tujuh peradaban di antaranya tidak lagi eksis yakni peradaban Mesopotamia, Mesir, Kreta, Klasik, Byzantium dan Atlantic, sedangkan peradaban yang masih hidup dan masih berkembang adalah peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat, Amerika Latin dan Afrika. Berikut penjelasan lebih lanjut dari delapan peradaban besar yang masih eksis di atas :
Peradaban Tionghoa, diakui semua sarjana telah berkembang sejak 1500 SM, bahkan mungkin beribu-ribu tahun sebelumnya, dan terus berkembang selama berabad-ibad sebelum munculnya peradaban Kristen (Byzantium). Peradaban Tionghoa, tidak saja fnenggambarkan budaya Cina yang ada di Tiongkok (RRC), tetapi mencakup pula komunitas-komunitas Cina yang tinggal di luarnya.
Peradaban Jepang yang diakui muncul kurang lebih antara tahun 100 dan 400 M ian terus berkembang menjadi peradaban yang sangat maju bahkan bisa menandingi dan pada beberapa aspek mengungguli peradaban Barat
Peradaban Hindu atau sering juga disebut Peradaban India adalah salah satu peradaban yang secara universal diakui keberadaannya dan muncul di India sejak kurang lebih 1500 SM. Dalam salah satu atau lain bentuk, Hinduisme merupakan pusat kultur India sejak milineum kedua sebelum Masehi. la lebih dari sekedar sebagai agama atau sistem sosial, melainkan juga inti peradaban India.
Peradaban Islam diakui semua sarjana besar sebagai suatu peradaban tersendiri. Peradaban Islam berasal dari semenanjung Arabia dan pada abad VII M menyebar secara sepat sampai ke Afrika Utara, semenanjung Iberia (Spanyol), kemudian memasuki Asia rengah, Anak Benua India dan Asia Tenggara. Sebagai hasilnya adalah pelbagai kebudayaan merasuk ke dalam Islam termasuk di dalamnya kebudayaan Arab, Persia lurid, Mongol, India, Barbar dan Melayu.
Peradaban Ortodoks dibedakan beberapa sarjana sebagai suatu peradaban tersendiri, yang terpusat di Rusia yang memisahkan diri dari peradaban Kristen Barat yang berasal dari Byzantium dan kemudian sempat menjadi sebuah agama yang berada di bawat kekuasaan bangsa Tartar selama 200 tahun.
Peradaban Barat yang muncul sekitar 700 atau 800 M dan sampai sekarang terus berkembang menjadi peradaban paling maju yang melebihi peradaban-peradaban lainnya. Pusat dari peradaban ini berada di Eropa dan Amerika Utara.
Peradaban Amerika Latin memiliki identitas yang membedakannya secara nyata dari peradaban Barat. Meskipun ada beberapa titik kesamaan dengan peradaban Barat tetapi peradaban Amerika Latin memiliki alur perkembangan tersendiri. la memiliki kebudayaan korporatis dan otoritarian yang berderajat tinggi, sementara peradaban Baral meskipun ada, tetapi dalam derajat yang sangat rendah bahkan ada sebagian wilayahnya seperti Amerika Utara tidak pernah memiliki atau mengalaminya sama sekali. Peradabar Barat (Eropa dan Amerika Utara) sama-sama merasakan pengaruh dari reformasi dar kemudian memadukan kebudayaan Katolik dan Protestan. Peradaban Amerika Latin secarc tiistoris, meskipun mengalami perubahan juga tetap sepenuhnya Katolik. Peradabar Amerika Latin memiliki pelbagai kebudayaan penting (yang tidak ditemukan di Eropa dar Amerika Utara),yang tersebar di Amerika Tengah dari Meksiko, Peru, Bolivia sampai Brasil, Argentina dan Cili.
Peradaban Afrika diakui sebagian besar sarjana sebagai peradaban tersendiri meskipun ia sudah memiliki peradaban Islam dan peradaban Barat, tetapi ia juga
kumpulan entitas budaya yang berasal dari pelbagai suku dengan segala keragamannya dari Afiika Utara sampai Afrika Selatan dan dari Afrika Timur sampai Afrika Barat. (Huntington: 1998: 47-52)
Jadi gambaran peradaban dunia sebenarnya adalah gambaran utuh dari seluruh entitas peradaban yang masih eksis atau katakanlah kumpulan dari delapan peradaban yang ada. (Sungguh bagus juga diakui bahwa peradaban terdahulu yang sudah tidak eksispun punya kontribusi, seberapapun kecilnya). Tak bisa dikatakan sebagai peradaban dunia, kalau meninggalkan atau menafikan salah satu dan beberapa dari bagian 8 peradaban tersebut, apalagi hanya diklaim oleh satu peradaban saja—misalnya peradaban Barat. Hal itu, suatu yang tidak logis dan mengada-ada atau sekurang-kurangnya terlalu arogan yang sebenarnya bertentangan dengan semangat dan ruh peradaban itu sendiri.
Memang dalam perkembangan percaturan politik peradaban sekarang ini, telah menghasilkan apa yang disebut Vaclav Havel sebagai peradaban global atau oleh V.S. Naipaul dikatakan sebagai peradaban universal yakni adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-prilaku dan institusi-institusi oleh jiwa kemanusiaan dan manusia di seluruh dunia. Hal ini ditandai, pertama telah dimilikinya kesadaran moral yang hampir sama, konsep-konsep dasar moralitas yang tidak jauh berbeda, tentang apa yang benar dan yang salah atau yang adil dan tidak adil. Seperti lahimya berbagai ketentuan produk PBB dan badan internasional lainnya hasil dari kesepakatan hampir seluruh negara di dunia. Kedua, adanya kesadaran bersama terhadap pentingnya budaya baca-tulis sebagai fondasi peradaban untuk menuju kepada kemajuan kemanusiaan. Ketiga, adanya kesadaran berbagi budaya intelektual atau budaya ilmiah yang dijalankan oleh sebagian besar negara Barat dan sebagian kecil negara non-Barat. Seperti setiap tahunnya sekitar seribu usahawan, bankir, pegawai pemerintahan, kaum intelektual dan para jurnalis dari pelbagai penjuru dunia bertemu dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss untuk memecahkan berbagai masalah ekonomi dengan berbagai tinjauan disiplin ilmu. Keempat, adanya universalisasi budaya populer di seluruh dunia yang memang banyak diintrodusir dari peradaban Barat dan sebagian dari peradaban non-Barat. Seperti mendunianya mengenakan pakaian jeans, minum Coke atau Coca Cola, mendengarkan musik rap, menonton film Hollywood, memakai TV, Video, kamera, motor, mobil dan peralatan mekanik-elektronik lainnya buatan Jepang, Cina, Italia, Inggris, Jerman, Perancis dan Amerika atas dukungan sarana-sarana komunikasi global dari hasil perkembangan teknologi canggih informasi dan transfortasi. Kelima, semakin mendunianya bahasa Inggris karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia yang memakainya sebagai komunikasi antar budaya, lingua franca (bahasa pergaulan) antar negara dan bahasa yang digunakan pelbagai ilmu pengetahuan. Keenam, spiritualitas agama yang mengglobal, yakni dimensi kebatinan dan nilai etik berbagai agama yang semakin banyak digandrungi masyarakat dunia sebagai sarana mengembalikan hakikat kemanusiaan dan fondasi terpenting suatu peradaban. Seperti maraknya masyarakat Eropa dan Amerika mengkaji, menghayati dan mengamalkan Tasawuf dari Islam, Yoga dari Budha, Semedi dari Hindu, Etika dari Konfiisianisme-Taoisme-Shintoisme, Asketik dari Kristen-Yahudi dan Kebatinan agama-agama suku dengan membentuk berbagai perkumpulan-perkumpulan spiritual.(Huntington: 1998: 75-92).
Percaturan politik antar peradaban, di samping melahirkan peradaban universal yang telah diurai lengkap oleh Naipaul barusan tadi, juga melahirkan klaim dari sebagian masyarakat Barat yang arogan bahwa semuanya itu berasal dari upaya-upaya masyarakat Barat dan produk peradaban Barat. Mereka mendaku telah berjasa membantu menyejajarkan perluasan dominasi politik dan ekonomi terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat. Pada penghujung abad XX, peradaban Barat secara perlahan-lahan menjadi kiblat peradaban dunia dan banyak ditiru, bahkan telah diterima baik secara sukarela maupun terpaksa oleh komponen peradaban lainnya. Peradaban Barat telah menjadi peradaban universal atau paling tidak peradaban universal sesungguhnya berlandaskan ideologi Barat yang memang telah mengalami kemajuan pesat mengalahkan peradaban lainnya berkat penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, tata ekonomi dan tata politik global, lantas seolah-olah sudah merasa menguasai dunia. Lebih dari itu, setelah runtuhnya komunisme Soviet yang berarti kemenangan universal demokrasi liberal Barat di seluruh dunia.
Sudah barang tentu klaim sepihak ini menuai banyak reaksi terutama dari sebagian masyarakat Islam yang intoleran, khususnya kalangan Islam Fundamentalis. Kelompok ini balik mengklaim bahwa peradaban dunia akan baik kalau sudah menerima nilai-nilai Islam, dengan mengajukan apologi bahwa peradaban Islam sejak lahir sampai abad pertengahan bahkan hingga sekarang mempunyai keunggulan, bila dibandingkan dengan peradaban lainnya, termasuk peradaban Barat Islam agama yang lengkap dan telah mencakup semua aspek kehidupan manusia,12 ia sudah pernah dalam sejarah terutama pada masa puncak keemasannya menjadi kiblat dan memimpin peradaban dunia. Mereka tidak mengakui sedikitpun peradaban Barat telah memajukan kemanusiaan dan peradaban dunia, justru sebaliknya dituduh sebagai perusak dan racun mematikan, makanya harus ditolak, dimusuhi, diperangi dan disingkirkan karena sangat bertentangan dan bahkan membahayakan bagi nilai-nilai Islam.
Dari sini, terbentuklah dua kutub ekstrim yang saling berseberangan satu sama lain dalam mempertahankan diri. Pada satu pihak, sangat bangga dengan peradaban Barat dan mengklaim peradaban universal merupakan miliknya, serta memusuhi peradaban Islam yang dianggap menghalangi kemajuan. Sebaliknya pada pihak lain, justru bersikap sangat mengagungkan peradaban Islam dan antipati terhadap peradaban Barat termasuk peradaban universal. Di antara kedua belah pihak, tidak saja terjadi permusuhan yang tersembunyi, tetapi juga permusuhan terbuka. Pertentangan ini sangat sulit dipertemukan, apalagi sampai bisa didamaikan, rasanya jauh panggang dari api (merupakan harapan yang hampir sia-sia atau sulit digapai), justru yang terjadi sebaliknya mereka sudah perang wacana (gazwah fikri), perang kejiwaan (psywar atau gazwah ruhi) dan perang fisik (gazwah nafsi atom jihad ashgar) dengan menggunakan senjata. Rupa-rupanya kedua belah pihak ini, masih melestarikan dan memelihara dendam sejarah. (Hamid Fahmy Zarkasyi: 2008: 6) Semacam traumatik permusuhan antara peradaban Islam dan peradaban Barat masa lalu yang berjalan cukup lama. Pada satu sisi, pihak Barat yang arogan masih menyimpan luka lama, ketika Islam pernah menaklukkan Spanyol (kerajaan Kristen yang menjadi salah satu basis peradaban Barat) dan seringkali memperoleh kemenangan dalam beberapa gelombang perang Salib. Pada sisi lain, pihak Islam yang intoleran, masih bersemayam memori permusuhan dalam ingatan, ketika negeri-negeri muslim mengalami penjajahan dan penindasan dari bangsa-bangsa Barat. Rupa-rupanya luka-luka sejarah yang sudah lama berlalu masih belum sembuh betul dan belum sempat terobati dengan baik sehingga sekarang terkoyak lagi untuk mencari pemuasannya. Kalau hal ini, dibiarkan berlanjut tanpa ada upaya untuk meredam dan melakukan perbaikan, maka ramalan Huntington tentang akan terjadinya benturan peradaban antara peradaban Barat dan peradaban Islam, betul-betul akan menjadi kenyataan.
Untungnya, dua pihak yang saling bertentangan ini bukan merupakan refsentasi masing-masing peradaban, hanya merupakan riak-riak kecil yang tak berarti, tetapi bersuara sangat vokal sehingga seolah-olah telah mewakili suara mayoritas. Mayoritas masyarakat Islam masih banyak yang toleran karena dalam Islam sikap toleran kepada orang lain tidak sekedar pantas-pantasan, tetapi ajaran yang wajib dilaksanakan. Dalam perspektif masyarakat Islam toleran ini, peradaban Islam diletakkan sebagai bagian pelengkap dari peradaban dunia, bukan tandingan apalagi alternatif bagi peradaban dunia yang lebih baru. la secara obyektif mengakui keunggulan dan kemajuan peradaban Barat termasuk sumbangan besamya terhadap terwujudnya peradaban universal, tetapi tanpa menghilangkan sifat kritisnya karena bagaimanapun hebatnya suatu peradaban, tak bisa dimutlakkan, mesti terdapat kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Demikian juga terhadap peradaban Islam, dilakukannya otokritik memang sedang mengalami kemunduran dari berbagai bidang dan mungkin sangat sedikit berperan dalam mewujudkan peradaban universal, tetapi tidak membuatnya berkecil hati dan pesimis karena dalam keyakinannya bagaimanapun gelapnya sebuah peradaban, mungkin masih ada titik terangnya yang memberi hikmah dan harapan termasuk berupaya untuk mau belajar dengan peradaban Barat yang memang lebih maju dan unggul. Artinya, mereka tidak melihat peradaban Islam, peradaban Barat dan peradaban lainnya secara berlebihan, tidak apresiatif secara gelap mata dan tidak juga membenci atau mencinta secara membabi buta.(Hamid Fahmy Zarkasyi: 2008: 6) Tak ada salahnya, antar peradaban untuk saling belajar, bahkan suatu yang patut dan niscaya dilakukan karena masing-masing peradaban yang menjadi bagian peradaban dunia itu merupakan satu-kesatuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain, meskipun bisa dibedakan entitasnya satu persatu. Memang masing-masing peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Namun suatu peradaban tidak mungkin lahir dan berkembang tanpa bersentuhan, saling meminjam dan saling menyerap dengan peradaban lainnya. Kekuatan salah satu atau beberapa peradaban adalah kekuatan bersama dari peradaban dunia. Sebaliknya, kelemahan salah satu atau beberapa peradaban adalah juga kelemahan bersama dari peradaban dunia. Ukuran penilaian kuat-lemahnya suatu peradaban tidak diukur lagi pada unit masing-masing peradaban, melainkan pada kaitan kesatuannya yang menyeluruh. Makanya, peradaban universal yang muncul tidak bisa dan tak pantas diklaim oleh salah satu peradaban, meskipun peradaban itu berperanan besar. la tetap saja milik bersama karena merupakan hasil bersama dan memprosesnya bersama-sama pula, bahkan tujuannyapun untuk kesejahteraan bersama. Apalagi pada kenyataannya peradaban universal tidak semata-mata kontribusi peradaban Barat, tetapi juga terdapat kontribusi dari peradaban Islam, peradaban Tionghoa, peradaban Jepang, peradaban Hindu, peradaban Ortodoks, peradaban Amerika Latin dan peradaban Afiika.
Dalam konteks ini, Islam harus berinisiatif dan proaktif melakukan dialog peradaban. Pentingnya melakukan dialog peradaban ini, meniscayakan dua hal utama; Pertama, dalam tingkat personal, setiap individu hendaknya menyadari bahwa ia diciptakan Tuhan dalam keadaan berbeda-beda, baik warna kulit, bahasa, suku, bangsa, budaya maupun agama. Dalam konsepsi dialog, masing-masing individu mencari titik temu antara perbedaan tersebut dengan memperkecil rasa kebencian terhadap orang lain. Dari paradigma itu, faktor yang sangat mendukung adalah pengetahuan dan wawasan berpikir. Setiap orang hendaknya memperluas pergaulan dan wawasan dengan proses pembacaan yang terus-menerus, sehingga terjadi dialog antar personal dari masing-masing wakil peradaban (terutama peradaban Islam dan peradaban Barat).
Kedua, dalam skala kolektif atau global. Dalam tingkatan ini perlu diciptakan equilibrium dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara. Kolektifitas harus dipahami sebagai upaya untuk membangun tatanan masyarakat (lokal dan internasional) yang kukuh, sehingga harus diciptakan kerjasama yang dinamis dan humanis. (Milad Hanan: 1999: 24).
Kedua hal utama itu, mengandaikan adanya dialog peradaban yang mampu melahirkan kesadaran global, yakni diperlukan adanya diplomasi perdamaian menuju kestabilan dunia yang abadi. Dengan demikian, sikap membenci yang lain dan ketegangan-ketegangan akan dapat dieliminir bahkan akan dapat dihapus sama sekali. Antar peradaban akan teqadi hubungan kemitraan dalam semangat persaudaraan sejati. Peran Islam Indonesia
Untuk mencapai kondisi yang sudah diuraikan di atas, yakni umat Islam yang toleran dengan meletakkan peradabannya sebagai bagian peradaban dunia dan setiap peradaban memiliki saling keterkaitan satu sama lain. Lebih dari itu, antar peradaban mempunyai hubungan kemitraan atas dasar persaudaraan sejati, karena semuanya memang suatu yang berkesinambungan, maka di sini Islam harus rendah hati, untuk mengedepankan nilai universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Bukannya penonjolan pada ajaran ritus-ritus, simbol-simbol dan formalistik Islam yang kering dari nilai kemanusiaan dan kebersamaan telah nyata-nyata gagal dalam membangun peradaban, apalagi sampai menggagas dialog antar peradaban.
Saya berpendapat Islam Indonesia punya kesempatan besar untuk berperan dalam dialog peradaban mengingat Indonesia merupakan negara yang penduduk muslim terbanyak di dunia. Di samping itu pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia samasekali berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Saya punya kesan bahwa pemikiran Islam yang berkembang di Timur Tengah dikuasai oleh pandangan yang mendudukkan Islam semata-mata sebagai norma. Padahal manakala Islam normatif memasuki wilayah kesejarahan, maka antara yang satu dengan yang lain akan berbeda. Sedangkan pemikiran Islam Indonesia sangat bersentuhan dengan budaya lokal sehingga tidak eksplosif, tetapi lebih historis dan yang lebih penting lagi dimensi kulturalnya lebih matang. Ini tidak saja terlihat secara perorangan misalnya pada diri Mukti Ali, Cak Nur, Ahmad Wahib, Gus Dur, Johan Effendy, Gus Mus, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Ali Yafi, Hasyim Muzadi, Sahal Mahfodz, Masdar Farid Mas'udi, Syafii Ma'arif, Amin Abdullah. Machasin, tetapi juga secara institusi seperti NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Saya kira Islam Indonesia mampu mengedepankan nilai universalisme dan kosmopolitanisme Islam. Adapun universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Salah satu ajaran yang dengan sempuma menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur agama (al~ kutub al-fiqhiyaK) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik (hifdh al-nafs) warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hokum,(2) keselamatan keyakinan agama (hifdh aUdin) masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan {hifdh al-nasl), (4) keselamatan harta dan milik pribadi (hifdh al-mal) di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan untuk bebas berpikir (hifdh al aql) dan menjalankan profesi.(Budhy Munawar Rachman: 1994: 545-552). Di samping itu, menciptakan pula kondisi kosmopolitanisme kreatif dalam peradaban Islam yang setiap orang bebas berpikir, sampai pada yang belum terpikirkan dan tak terpikirkan, sekalipun. Di sini Islam ditampilkan sebagai kekuatan transformatif tanpa nama Islam. Dalam konteks ini Gus Dur mengemukakan: "Islam tidak selayaknya harus berhadapan dengan ideologi-ideologi transformatif manapun di dunia, karena ia harus juga melakukan transformatifhya sendiri... yang terjadi adalah hubungan simbiotik dengan sebuah kesadaran transformatif tanpa nama yang lalu mewujudkan diri dalam kesadaran pelestarian lingkungan, pengembangan keswadayaan, penegakan demokrasi tanpa merinci terlebih dahulu bentuk sistemiknya dan sebagainya.(Hassan Hanafi : 1991: x)
Sayangnya pemikiran keislaman Indonesia yang semacam ini di panggung internasional relatif baru dikenal. Bahkan, boleh dikatakan belum diadaptasi oleh orang luar, karena miskin publikasi ke dalam bahasa-bahasa internasional (Inggris, Prancis dan Arab). Di samping itu, sedikit sekali ulama dan intelektual Indonesia yang aktif dalam perbincangan event-event internasional. Jika dua hal ini, lebih digalakkan pada masa-masa mendatang saya kira Islam Indonesia akan sangat berperan dalam dialog antar peradaban. Bisa dikatakan, kalau peran ini bisa diraih oleh Indonesiaa, insya Allah ramalan Huntington tentang benturan Peradaban Islam dengan Peradaban Barat tak akan terjadi dan tidak akan menjadi kenyataan. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Hanan, Milad, Qabul Yasar, Kairo: Dar al-Syuruq, 1999.
Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M, 1991.
Humaidy, Masnun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama, Yogyakarta: LKiS, 2007
Rachman, Budhy Munawar, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.
Samuel, Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (London: Touchstone Book, 1998...
Zarkasyi, Hamid Fahmy, "Memahami Barat", dalam Jurnal Islamia Vol. Ill, No. 2.
Oleh: Humaidy
ABSTRAK
Benturan peradaban Islam dengan Peradaban Modern akan teradi dalam waktu yang tidak terlalu lama kata Samuel P. Huntington. Wacana ini banyak direspon berbagai kalangan terutama oleh kaum agawan dan intelektual muslim yang tidak setuju bahkan menolak ramalan tersebut. Penolakan tersebut memang ada benaarnya, tapi ramalan Huntington juga tidak terlalu salah. Jika dalam peradaban Islam dominant kaum muslimin yang intoleran dan dalam peradaban Barat dominant yang arogan benturan peradaban itu kemungkinan besar akan terjadi, sebaliknya ramalan Huntington tidak terjadi (keliru besar). Untuk semakin menjawab ramalan Huntington tersebut perlu adanya dialog antar peradaban dan Indonesia bisa menjadi actor penting sebagai penganut Islam terbesar di dunia.
Kata Kunci : Benturan Peradaban, Islam Intoleran Barat, Arogan dan dialog antar Peradaban.
Samuel P. Huntington pada tahun 1993 telah melontarkan ramalannya bahwa di dunia yang sudah mengglobal ini akan terjadi benturan peradaban (clash of civilization) terutama antara peradaban Barat dan peradaban Islam. (Huntington: 1998: 17) Tesis kontroversial sekaligus propokatif ini, telah mengundang begitu banyak tanggapan, gugatan dan bahkan hujatan dari berbagai negara melalui suara beberapa tokohnya.
Perdebatan wacana kemudian marak bergulir, dialektika terus mengalir, perang ide terjadi sangat seru dan geger, dari sejak pemunculannya sampai hari ini. Di antara tokoh para penanggap yang terdiri dari berbagai kalangan, barangkali intelektual agamawan adalah pihak yang paling keras menolak—dalam ekspresi kritis dan nada menghujat—gagasan yang mereka anggap tidak sekedar propokatif, melainkan sudah mengarah subversif, karena terkesan pada satu sisi sangat mendiskreditkan Islam dan pada sisi yang lain terlalu mengagungkan Barat. Di negara asalnya (Amerika Serikat) saja, tesis ala Huntington ini dikritik habis-habisan terutama oleh pakar-pakar ilmu dan aktifis sosial dari beragam sudut pandang. Asumsinya disorot, metodenya digugat, modelnya dikritisi, pendekatannya dikuliti dan datanya dicermati, hingga posisi keintelektualannyapun sempat diragukan dan dihujat.
Pada dasarnya yang menjadi titik sentral semua kritikan—kalau boleh diperas dan disimpulkan— terutama terkait dengan signifikansi tesis tersebut terhadap sensitivitas terhadap persoalan agama, budaya, sosial dan politik pasca perang dingin. Atas semua kritikan, gugatan dan hujatan itu, Huntington tidak serta merta menerimanya dan ia tak bergeming dari pendapatnya semula, bahkan ia masih mengunggulkan tesisnya (benturan peradaban Barat dan peradaban Islam) sebagai sebuah paradigma yang tetap reliable dan valid sebagai sarana menerangkan fenomena politik dunia global kontemporer dan masa depan. Huntington, tidak hanya bersikukuh dengan tesisnya itu, bahkan ia melakukan serangan balik bahwa semua kritikan, gugatan dan hujatan pada dirinya, sebenarnya muncul dari ketidak-pekaan dan ketidak-tahuan dalam menangkap apa yang disebut Habermas sebagai Zeitgeist (ruh zaman atau tanda-tanda zaman) sehingga keliru penafsiran dan over-estimate (prasangka berlebihan) terhadap apa yang ia tawarkan.
Ada dua alasan yang sangat ditekankan Huntington yakni arogansi Barat dan intoleransi Islam yang paling besar berperan bagi terjadinya benturan peradaban (Huntington: 1998: 17) terutama benturan peradaban Barat dengan peradaban Islam. Jika Barat tidak arogan dan Islam toleran atau Barat arogan dan Islam toleran atau Barat tak arogan dan Islam tidak toleran, maka kemungkinan besar tidak akan pernah terjadi benturan peradaban. Persoalannya bagaimana caranya untuk merumuskan Islam yang toleran, sehingga diharapkan tidak akan terjadi benturan peradaban Barat dengan peradaban Islam. Tulisan ini berupaya untuk ke arah sana, yakni bagaimana Islam Indonesia bisa berperan dalam dialog antar peradaban ?.
Peradaban dan Kebudayaan
Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban seringkali diberi arti sama dengan kebudayaan. Berbeda dengan bahasa Inggris, kata keduanya tidak bisa dikatakan sama, yakni civilization untuk kata peradaban dan culture untuk kata kebudayaan. Demikian juga dalam bahasa Arab hadlarah, tamaddun, ‘umran untuk kata peradaban dan tsaqafah untuk kata kebudayaan. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007: 13). Sebagian ahli peradaban mengatakan bahwa kebudayaan dipakai untuk menunjuk pada satu tahapan tertentu dari kemajuan dari suatu peradaban. Sebagian yang lain berpendapat bahwa peradaban merupakan tingkat perkembangan lebih lanjut atau lebih tinggi dari kebudayaan. Soerjono Soekanto (Guru Besar Sosiologi UI) mengatakan bahwa perbedaan kebudayaan dengan peradaban hanya terletak pada kemajuan dan kesempurnaan. Biasanya kebudayaan masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan tekhnologi yang lebih tinggi disebut sebagai peradaban. Hal ini senada dengan pendapat Effat Syarkai (cendikiawan Mesir) dalam uraian lebih rinci bahwa kebudayaan terefleksi dalam seni, sastra, religi dan moral, sedangkan peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.(Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007: 13)
Menurut Koentjaraningrat (Guru Besar Antropologi UGM) kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud yakni 1. Wujud Ideal yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai, norma, aturan dan sebagainya; 2. Wujud kelakuan, yaitu tata kelakuan yang terpola pada manusia dalam masyarakat; 3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Adapun istilah peradaban biasanya diapakai untuk menyebutkan bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah, berupa sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir : 2007: 14)
Sementara itu, menurut Nourouzzaman Shiddiqi (Guru Besar SKI UIN Sunan Kalijaga), kebudayaan adalah perpaduan yang terdiri atas cipta, rasa dan karsa. Kebudayaan berangkat dari akal batin manusia yang mendorong lahirnya pikiran-pikiran manusia untuk menciptakan kesenian, kesusastraan, moral dan lain-lain yang memenuhi hasrat manusia akan keindahan dan kebahagiaan hidup. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir : 2007: 14) Karena itu pula kebudayaan merupakan salah satu factor yang mengarahkan manusia dalam kehidupan, baik pada bidang agama, filsafat, ilmu pengetahuan politik, ekonomi, social, moral dan sebagainya. Oleh karena itu secara ringkas kebudayaan dapat pula diartikan sebagai perkembangan kecerdasan akal manusia pada suatu ruang dan waktu, sedangkan peradaban mengandung konotasi mengajar manusia hidup dalam satu masyarakat yang beradab, berprikemanusiaan, bersusila, berdisiplin dan sebagainya sesuai dengan derajat manusia sebagai makhluk termulia dan bermartabat tinggi. Dari pemahaman tersebut, peradaban dapat diartikan sebagai bentuk lahir dari perilaku manusia sebagai hasil dari dorongan kebudayaan yang berangkat dari akal batin dan proses pendidikan. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007 : 15)
Kemudian, Huntington secara lebih konperehensip dan detail merumuskan tentang unsur yang harus ada dalam peradaban. Menurutnya terdapat semacam satu kesepakatan dari berbagai ahli peradaban,— meskipun mereka berbeda perspektif, metodologi, titik tekan dan konsep-konsepnya—sekurang-kurangnya pada lima hal. Pertama, sebuah pembedaan -pembedaan dapat ditemukan di antara pelbagai peradaban, baik yang singular maupun yang plural. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif dan barbar. Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban adalah buruk. Kedua, sebuah peradaban adalah sebuah identitas kultural, tetapi bukan berarti kebudayaan sama dengan peradaban. Memang peradaban dan kebudayaan sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia, yang mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi dan pola-pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Namun peradaban lebih dari itu, ia lebih luas daripada kebudayaan, di samping berbagai kesamaan yang telah disebutkan tadi ia juga ditambah pelbagai faktor seperti faktor-faktor mekanis, teknologi, material termasuk di dalamnya kualitas intelektual dan moral yang lebih tinggi dari suatu masyarakat. Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat konperehensif yang tidak satupun dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Huntington memperkuat pendapat ini dengan mengutip Arnold Toynbee yang mengatakan bahwa setiap peradaban ternyatakan tanpa ternyatakan oleh yang lain. Sebuah peradaban adalah sebuah totalitas dari entitas paling luas dari kebudayaan yang terdiri dari perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, nasionalitas-nasionalitas dan pelbagai kelompok keagamaan yang heterogin. Keempat, peradaban bersifat fana, tetapi juga hidup sangat lama; ia berkembang, beradaptasi, dinamis, memuncak, mundur, jatuh dan bangkit kembali atau mati sama sekali. Kelima, karena peradaban merupakan kumpulan entitas kultural bukan kumpulan entitas politik, maka ia tidak berpegang pada tatanan, penegakan keadilan, kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai negosiasi atau menetapkan kebijakan-kebijakan yang biasa dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Namun ia berpijak pada kerja peradaban itu sendiri yang mencakup pelbagai faktor dan dimensi dengan berlandaskan atas semangat kebersamaan, kebaikan dan kemajuan. (Huntington: 1998: 38-46).
Jadi jelaslah sudah dari uraian para ahli peradaban di atas, bahwa peradaban lebih luas daripada kebudayaan. Dalam peradaban pasti sudah mencakup kebudayaan, tetapi dalam kebudayaan tidak dan belum mencakup peradaban. Keluasan peradaban bukan saja mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, aturan-aturan, ilmu pengetahuan, filsafat, seni, religi dan sebagainya yang menjadi wilayah cakupan kebudayaan, tetapi juga mencakup ekonomi, politik, teknologi dan sebagainya yang merupakan hasil lebih halus, indah dan maju dari kerja-kerja kebudayaan tadi. Lebih dari itu, peradaban juga mencakup beberapa kebudayaan, dua sampai beberapa wilayah, gabungan nasionalitas-nasionalitas, kumpulan etnis, kompleksitas keagamaan yang keseluruhannya mempunyai heterogenitas berderajat tinggi.
Islam bagian Peradaban Dunia
Peradaban dunia disimpulkan Melko -setelah meninjau kembali berbagai literatur yang berkaitan dengannya, terdiri dari kurang lebih 15 peradaban besar, tujuh peradaban di antaranya tidak lagi eksis yakni peradaban Mesopotamia, Mesir, Kreta, Klasik, Byzantium dan Atlantic, sedangkan peradaban yang masih hidup dan masih berkembang adalah peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat, Amerika Latin dan Afrika. Berikut penjelasan lebih lanjut dari delapan peradaban besar yang masih eksis di atas :
Peradaban Tionghoa, diakui semua sarjana telah berkembang sejak 1500 SM, bahkan mungkin beribu-ribu tahun sebelumnya, dan terus berkembang selama berabad-ibad sebelum munculnya peradaban Kristen (Byzantium). Peradaban Tionghoa, tidak saja fnenggambarkan budaya Cina yang ada di Tiongkok (RRC), tetapi mencakup pula komunitas-komunitas Cina yang tinggal di luarnya.
Peradaban Jepang yang diakui muncul kurang lebih antara tahun 100 dan 400 M ian terus berkembang menjadi peradaban yang sangat maju bahkan bisa menandingi dan pada beberapa aspek mengungguli peradaban Barat
Peradaban Hindu atau sering juga disebut Peradaban India adalah salah satu peradaban yang secara universal diakui keberadaannya dan muncul di India sejak kurang lebih 1500 SM. Dalam salah satu atau lain bentuk, Hinduisme merupakan pusat kultur India sejak milineum kedua sebelum Masehi. la lebih dari sekedar sebagai agama atau sistem sosial, melainkan juga inti peradaban India.
Peradaban Islam diakui semua sarjana besar sebagai suatu peradaban tersendiri. Peradaban Islam berasal dari semenanjung Arabia dan pada abad VII M menyebar secara sepat sampai ke Afrika Utara, semenanjung Iberia (Spanyol), kemudian memasuki Asia rengah, Anak Benua India dan Asia Tenggara. Sebagai hasilnya adalah pelbagai kebudayaan merasuk ke dalam Islam termasuk di dalamnya kebudayaan Arab, Persia lurid, Mongol, India, Barbar dan Melayu.
Peradaban Ortodoks dibedakan beberapa sarjana sebagai suatu peradaban tersendiri, yang terpusat di Rusia yang memisahkan diri dari peradaban Kristen Barat yang berasal dari Byzantium dan kemudian sempat menjadi sebuah agama yang berada di bawat kekuasaan bangsa Tartar selama 200 tahun.
Peradaban Barat yang muncul sekitar 700 atau 800 M dan sampai sekarang terus berkembang menjadi peradaban paling maju yang melebihi peradaban-peradaban lainnya. Pusat dari peradaban ini berada di Eropa dan Amerika Utara.
Peradaban Amerika Latin memiliki identitas yang membedakannya secara nyata dari peradaban Barat. Meskipun ada beberapa titik kesamaan dengan peradaban Barat tetapi peradaban Amerika Latin memiliki alur perkembangan tersendiri. la memiliki kebudayaan korporatis dan otoritarian yang berderajat tinggi, sementara peradaban Baral meskipun ada, tetapi dalam derajat yang sangat rendah bahkan ada sebagian wilayahnya seperti Amerika Utara tidak pernah memiliki atau mengalaminya sama sekali. Peradabar Barat (Eropa dan Amerika Utara) sama-sama merasakan pengaruh dari reformasi dar kemudian memadukan kebudayaan Katolik dan Protestan. Peradaban Amerika Latin secarc tiistoris, meskipun mengalami perubahan juga tetap sepenuhnya Katolik. Peradabar Amerika Latin memiliki pelbagai kebudayaan penting (yang tidak ditemukan di Eropa dar Amerika Utara),yang tersebar di Amerika Tengah dari Meksiko, Peru, Bolivia sampai Brasil, Argentina dan Cili.
Peradaban Afrika diakui sebagian besar sarjana sebagai peradaban tersendiri meskipun ia sudah memiliki peradaban Islam dan peradaban Barat, tetapi ia juga
kumpulan entitas budaya yang berasal dari pelbagai suku dengan segala keragamannya dari Afiika Utara sampai Afrika Selatan dan dari Afrika Timur sampai Afrika Barat. (Huntington: 1998: 47-52)
Jadi gambaran peradaban dunia sebenarnya adalah gambaran utuh dari seluruh entitas peradaban yang masih eksis atau katakanlah kumpulan dari delapan peradaban yang ada. (Sungguh bagus juga diakui bahwa peradaban terdahulu yang sudah tidak eksispun punya kontribusi, seberapapun kecilnya). Tak bisa dikatakan sebagai peradaban dunia, kalau meninggalkan atau menafikan salah satu dan beberapa dari bagian 8 peradaban tersebut, apalagi hanya diklaim oleh satu peradaban saja—misalnya peradaban Barat. Hal itu, suatu yang tidak logis dan mengada-ada atau sekurang-kurangnya terlalu arogan yang sebenarnya bertentangan dengan semangat dan ruh peradaban itu sendiri.
Memang dalam perkembangan percaturan politik peradaban sekarang ini, telah menghasilkan apa yang disebut Vaclav Havel sebagai peradaban global atau oleh V.S. Naipaul dikatakan sebagai peradaban universal yakni adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-prilaku dan institusi-institusi oleh jiwa kemanusiaan dan manusia di seluruh dunia. Hal ini ditandai, pertama telah dimilikinya kesadaran moral yang hampir sama, konsep-konsep dasar moralitas yang tidak jauh berbeda, tentang apa yang benar dan yang salah atau yang adil dan tidak adil. Seperti lahimya berbagai ketentuan produk PBB dan badan internasional lainnya hasil dari kesepakatan hampir seluruh negara di dunia. Kedua, adanya kesadaran bersama terhadap pentingnya budaya baca-tulis sebagai fondasi peradaban untuk menuju kepada kemajuan kemanusiaan. Ketiga, adanya kesadaran berbagi budaya intelektual atau budaya ilmiah yang dijalankan oleh sebagian besar negara Barat dan sebagian kecil negara non-Barat. Seperti setiap tahunnya sekitar seribu usahawan, bankir, pegawai pemerintahan, kaum intelektual dan para jurnalis dari pelbagai penjuru dunia bertemu dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss untuk memecahkan berbagai masalah ekonomi dengan berbagai tinjauan disiplin ilmu. Keempat, adanya universalisasi budaya populer di seluruh dunia yang memang banyak diintrodusir dari peradaban Barat dan sebagian dari peradaban non-Barat. Seperti mendunianya mengenakan pakaian jeans, minum Coke atau Coca Cola, mendengarkan musik rap, menonton film Hollywood, memakai TV, Video, kamera, motor, mobil dan peralatan mekanik-elektronik lainnya buatan Jepang, Cina, Italia, Inggris, Jerman, Perancis dan Amerika atas dukungan sarana-sarana komunikasi global dari hasil perkembangan teknologi canggih informasi dan transfortasi. Kelima, semakin mendunianya bahasa Inggris karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia yang memakainya sebagai komunikasi antar budaya, lingua franca (bahasa pergaulan) antar negara dan bahasa yang digunakan pelbagai ilmu pengetahuan. Keenam, spiritualitas agama yang mengglobal, yakni dimensi kebatinan dan nilai etik berbagai agama yang semakin banyak digandrungi masyarakat dunia sebagai sarana mengembalikan hakikat kemanusiaan dan fondasi terpenting suatu peradaban. Seperti maraknya masyarakat Eropa dan Amerika mengkaji, menghayati dan mengamalkan Tasawuf dari Islam, Yoga dari Budha, Semedi dari Hindu, Etika dari Konfiisianisme-Taoisme-Shintoisme, Asketik dari Kristen-Yahudi dan Kebatinan agama-agama suku dengan membentuk berbagai perkumpulan-perkumpulan spiritual.(Huntington: 1998: 75-92).
Percaturan politik antar peradaban, di samping melahirkan peradaban universal yang telah diurai lengkap oleh Naipaul barusan tadi, juga melahirkan klaim dari sebagian masyarakat Barat yang arogan bahwa semuanya itu berasal dari upaya-upaya masyarakat Barat dan produk peradaban Barat. Mereka mendaku telah berjasa membantu menyejajarkan perluasan dominasi politik dan ekonomi terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat. Pada penghujung abad XX, peradaban Barat secara perlahan-lahan menjadi kiblat peradaban dunia dan banyak ditiru, bahkan telah diterima baik secara sukarela maupun terpaksa oleh komponen peradaban lainnya. Peradaban Barat telah menjadi peradaban universal atau paling tidak peradaban universal sesungguhnya berlandaskan ideologi Barat yang memang telah mengalami kemajuan pesat mengalahkan peradaban lainnya berkat penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, tata ekonomi dan tata politik global, lantas seolah-olah sudah merasa menguasai dunia. Lebih dari itu, setelah runtuhnya komunisme Soviet yang berarti kemenangan universal demokrasi liberal Barat di seluruh dunia.
Sudah barang tentu klaim sepihak ini menuai banyak reaksi terutama dari sebagian masyarakat Islam yang intoleran, khususnya kalangan Islam Fundamentalis. Kelompok ini balik mengklaim bahwa peradaban dunia akan baik kalau sudah menerima nilai-nilai Islam, dengan mengajukan apologi bahwa peradaban Islam sejak lahir sampai abad pertengahan bahkan hingga sekarang mempunyai keunggulan, bila dibandingkan dengan peradaban lainnya, termasuk peradaban Barat Islam agama yang lengkap dan telah mencakup semua aspek kehidupan manusia,12 ia sudah pernah dalam sejarah terutama pada masa puncak keemasannya menjadi kiblat dan memimpin peradaban dunia. Mereka tidak mengakui sedikitpun peradaban Barat telah memajukan kemanusiaan dan peradaban dunia, justru sebaliknya dituduh sebagai perusak dan racun mematikan, makanya harus ditolak, dimusuhi, diperangi dan disingkirkan karena sangat bertentangan dan bahkan membahayakan bagi nilai-nilai Islam.
Dari sini, terbentuklah dua kutub ekstrim yang saling berseberangan satu sama lain dalam mempertahankan diri. Pada satu pihak, sangat bangga dengan peradaban Barat dan mengklaim peradaban universal merupakan miliknya, serta memusuhi peradaban Islam yang dianggap menghalangi kemajuan. Sebaliknya pada pihak lain, justru bersikap sangat mengagungkan peradaban Islam dan antipati terhadap peradaban Barat termasuk peradaban universal. Di antara kedua belah pihak, tidak saja terjadi permusuhan yang tersembunyi, tetapi juga permusuhan terbuka. Pertentangan ini sangat sulit dipertemukan, apalagi sampai bisa didamaikan, rasanya jauh panggang dari api (merupakan harapan yang hampir sia-sia atau sulit digapai), justru yang terjadi sebaliknya mereka sudah perang wacana (gazwah fikri), perang kejiwaan (psywar atau gazwah ruhi) dan perang fisik (gazwah nafsi atom jihad ashgar) dengan menggunakan senjata. Rupa-rupanya kedua belah pihak ini, masih melestarikan dan memelihara dendam sejarah. (Hamid Fahmy Zarkasyi: 2008: 6) Semacam traumatik permusuhan antara peradaban Islam dan peradaban Barat masa lalu yang berjalan cukup lama. Pada satu sisi, pihak Barat yang arogan masih menyimpan luka lama, ketika Islam pernah menaklukkan Spanyol (kerajaan Kristen yang menjadi salah satu basis peradaban Barat) dan seringkali memperoleh kemenangan dalam beberapa gelombang perang Salib. Pada sisi lain, pihak Islam yang intoleran, masih bersemayam memori permusuhan dalam ingatan, ketika negeri-negeri muslim mengalami penjajahan dan penindasan dari bangsa-bangsa Barat. Rupa-rupanya luka-luka sejarah yang sudah lama berlalu masih belum sembuh betul dan belum sempat terobati dengan baik sehingga sekarang terkoyak lagi untuk mencari pemuasannya. Kalau hal ini, dibiarkan berlanjut tanpa ada upaya untuk meredam dan melakukan perbaikan, maka ramalan Huntington tentang akan terjadinya benturan peradaban antara peradaban Barat dan peradaban Islam, betul-betul akan menjadi kenyataan.
Untungnya, dua pihak yang saling bertentangan ini bukan merupakan refsentasi masing-masing peradaban, hanya merupakan riak-riak kecil yang tak berarti, tetapi bersuara sangat vokal sehingga seolah-olah telah mewakili suara mayoritas. Mayoritas masyarakat Islam masih banyak yang toleran karena dalam Islam sikap toleran kepada orang lain tidak sekedar pantas-pantasan, tetapi ajaran yang wajib dilaksanakan. Dalam perspektif masyarakat Islam toleran ini, peradaban Islam diletakkan sebagai bagian pelengkap dari peradaban dunia, bukan tandingan apalagi alternatif bagi peradaban dunia yang lebih baru. la secara obyektif mengakui keunggulan dan kemajuan peradaban Barat termasuk sumbangan besamya terhadap terwujudnya peradaban universal, tetapi tanpa menghilangkan sifat kritisnya karena bagaimanapun hebatnya suatu peradaban, tak bisa dimutlakkan, mesti terdapat kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Demikian juga terhadap peradaban Islam, dilakukannya otokritik memang sedang mengalami kemunduran dari berbagai bidang dan mungkin sangat sedikit berperan dalam mewujudkan peradaban universal, tetapi tidak membuatnya berkecil hati dan pesimis karena dalam keyakinannya bagaimanapun gelapnya sebuah peradaban, mungkin masih ada titik terangnya yang memberi hikmah dan harapan termasuk berupaya untuk mau belajar dengan peradaban Barat yang memang lebih maju dan unggul. Artinya, mereka tidak melihat peradaban Islam, peradaban Barat dan peradaban lainnya secara berlebihan, tidak apresiatif secara gelap mata dan tidak juga membenci atau mencinta secara membabi buta.(Hamid Fahmy Zarkasyi: 2008: 6) Tak ada salahnya, antar peradaban untuk saling belajar, bahkan suatu yang patut dan niscaya dilakukan karena masing-masing peradaban yang menjadi bagian peradaban dunia itu merupakan satu-kesatuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain, meskipun bisa dibedakan entitasnya satu persatu. Memang masing-masing peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Namun suatu peradaban tidak mungkin lahir dan berkembang tanpa bersentuhan, saling meminjam dan saling menyerap dengan peradaban lainnya. Kekuatan salah satu atau beberapa peradaban adalah kekuatan bersama dari peradaban dunia. Sebaliknya, kelemahan salah satu atau beberapa peradaban adalah juga kelemahan bersama dari peradaban dunia. Ukuran penilaian kuat-lemahnya suatu peradaban tidak diukur lagi pada unit masing-masing peradaban, melainkan pada kaitan kesatuannya yang menyeluruh. Makanya, peradaban universal yang muncul tidak bisa dan tak pantas diklaim oleh salah satu peradaban, meskipun peradaban itu berperanan besar. la tetap saja milik bersama karena merupakan hasil bersama dan memprosesnya bersama-sama pula, bahkan tujuannyapun untuk kesejahteraan bersama. Apalagi pada kenyataannya peradaban universal tidak semata-mata kontribusi peradaban Barat, tetapi juga terdapat kontribusi dari peradaban Islam, peradaban Tionghoa, peradaban Jepang, peradaban Hindu, peradaban Ortodoks, peradaban Amerika Latin dan peradaban Afiika.
Dalam konteks ini, Islam harus berinisiatif dan proaktif melakukan dialog peradaban. Pentingnya melakukan dialog peradaban ini, meniscayakan dua hal utama; Pertama, dalam tingkat personal, setiap individu hendaknya menyadari bahwa ia diciptakan Tuhan dalam keadaan berbeda-beda, baik warna kulit, bahasa, suku, bangsa, budaya maupun agama. Dalam konsepsi dialog, masing-masing individu mencari titik temu antara perbedaan tersebut dengan memperkecil rasa kebencian terhadap orang lain. Dari paradigma itu, faktor yang sangat mendukung adalah pengetahuan dan wawasan berpikir. Setiap orang hendaknya memperluas pergaulan dan wawasan dengan proses pembacaan yang terus-menerus, sehingga terjadi dialog antar personal dari masing-masing wakil peradaban (terutama peradaban Islam dan peradaban Barat).
Kedua, dalam skala kolektif atau global. Dalam tingkatan ini perlu diciptakan equilibrium dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara. Kolektifitas harus dipahami sebagai upaya untuk membangun tatanan masyarakat (lokal dan internasional) yang kukuh, sehingga harus diciptakan kerjasama yang dinamis dan humanis. (Milad Hanan: 1999: 24).
Kedua hal utama itu, mengandaikan adanya dialog peradaban yang mampu melahirkan kesadaran global, yakni diperlukan adanya diplomasi perdamaian menuju kestabilan dunia yang abadi. Dengan demikian, sikap membenci yang lain dan ketegangan-ketegangan akan dapat dieliminir bahkan akan dapat dihapus sama sekali. Antar peradaban akan teqadi hubungan kemitraan dalam semangat persaudaraan sejati. Peran Islam Indonesia
Untuk mencapai kondisi yang sudah diuraikan di atas, yakni umat Islam yang toleran dengan meletakkan peradabannya sebagai bagian peradaban dunia dan setiap peradaban memiliki saling keterkaitan satu sama lain. Lebih dari itu, antar peradaban mempunyai hubungan kemitraan atas dasar persaudaraan sejati, karena semuanya memang suatu yang berkesinambungan, maka di sini Islam harus rendah hati, untuk mengedepankan nilai universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Bukannya penonjolan pada ajaran ritus-ritus, simbol-simbol dan formalistik Islam yang kering dari nilai kemanusiaan dan kebersamaan telah nyata-nyata gagal dalam membangun peradaban, apalagi sampai menggagas dialog antar peradaban.
Saya berpendapat Islam Indonesia punya kesempatan besar untuk berperan dalam dialog peradaban mengingat Indonesia merupakan negara yang penduduk muslim terbanyak di dunia. Di samping itu pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia samasekali berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Saya punya kesan bahwa pemikiran Islam yang berkembang di Timur Tengah dikuasai oleh pandangan yang mendudukkan Islam semata-mata sebagai norma. Padahal manakala Islam normatif memasuki wilayah kesejarahan, maka antara yang satu dengan yang lain akan berbeda. Sedangkan pemikiran Islam Indonesia sangat bersentuhan dengan budaya lokal sehingga tidak eksplosif, tetapi lebih historis dan yang lebih penting lagi dimensi kulturalnya lebih matang. Ini tidak saja terlihat secara perorangan misalnya pada diri Mukti Ali, Cak Nur, Ahmad Wahib, Gus Dur, Johan Effendy, Gus Mus, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Ali Yafi, Hasyim Muzadi, Sahal Mahfodz, Masdar Farid Mas'udi, Syafii Ma'arif, Amin Abdullah. Machasin, tetapi juga secara institusi seperti NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Saya kira Islam Indonesia mampu mengedepankan nilai universalisme dan kosmopolitanisme Islam. Adapun universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Salah satu ajaran yang dengan sempuma menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur agama (al~ kutub al-fiqhiyaK) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik (hifdh al-nafs) warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hokum,(2) keselamatan keyakinan agama (hifdh aUdin) masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan {hifdh al-nasl), (4) keselamatan harta dan milik pribadi (hifdh al-mal) di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan untuk bebas berpikir (hifdh al aql) dan menjalankan profesi.(Budhy Munawar Rachman: 1994: 545-552). Di samping itu, menciptakan pula kondisi kosmopolitanisme kreatif dalam peradaban Islam yang setiap orang bebas berpikir, sampai pada yang belum terpikirkan dan tak terpikirkan, sekalipun. Di sini Islam ditampilkan sebagai kekuatan transformatif tanpa nama Islam. Dalam konteks ini Gus Dur mengemukakan: "Islam tidak selayaknya harus berhadapan dengan ideologi-ideologi transformatif manapun di dunia, karena ia harus juga melakukan transformatifhya sendiri... yang terjadi adalah hubungan simbiotik dengan sebuah kesadaran transformatif tanpa nama yang lalu mewujudkan diri dalam kesadaran pelestarian lingkungan, pengembangan keswadayaan, penegakan demokrasi tanpa merinci terlebih dahulu bentuk sistemiknya dan sebagainya.(Hassan Hanafi : 1991: x)
Sayangnya pemikiran keislaman Indonesia yang semacam ini di panggung internasional relatif baru dikenal. Bahkan, boleh dikatakan belum diadaptasi oleh orang luar, karena miskin publikasi ke dalam bahasa-bahasa internasional (Inggris, Prancis dan Arab). Di samping itu, sedikit sekali ulama dan intelektual Indonesia yang aktif dalam perbincangan event-event internasional. Jika dua hal ini, lebih digalakkan pada masa-masa mendatang saya kira Islam Indonesia akan sangat berperan dalam dialog antar peradaban. Bisa dikatakan, kalau peran ini bisa diraih oleh Indonesiaa, insya Allah ramalan Huntington tentang benturan Peradaban Islam dengan Peradaban Barat tak akan terjadi dan tidak akan menjadi kenyataan. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Hanan, Milad, Qabul Yasar, Kairo: Dar al-Syuruq, 1999.
Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M, 1991.
Humaidy, Masnun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama, Yogyakarta: LKiS, 2007
Rachman, Budhy Munawar, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.
Samuel, Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (London: Touchstone Book, 1998...
Zarkasyi, Hamid Fahmy, "Memahami Barat", dalam Jurnal Islamia Vol. Ill, No. 2.
TUAN HUSEIN AL-BANJARI: AN ‘ALIM WHOSE IMPORTANT ROLE IN DEVELOPMENT OF ISLAMIC EDUCATION IN NORTHERN MALAYSIA
TUAN HUSEIN AL-BANJARI: AN ‘ALIM WHOSE IMPORTANT ROLE
IN DEVELOPMENT OF ISLAMIC EDUCATION IN NORTHERN MALAYSIA
by
Ahdi Makmur*
Abstract: This article tries to describe the role of Tuan Husein al-Banjari in developing Islamic education in northern Malaysia. He was not only involved in establishing and teaching at a number of Islamic schools or sekolah pondoks in States of Kedah, Perlis and Perak, like Sekolah Pondok Pokok Sena and Sekolah Pondok Padang Lumat, but also actively wrote some books (kitab) and papers (risalah) both in Arabic and Malay on various fields of Islamic studies, like Fiqh, Tafsir, Hadits, Tasawuf and Tauhid. His debates with other ‘ulama in Tanah Semenanjung made him famous as an ‘alim who mastered Islamic sciences, was self-esteem, firmly-standing (istiqomah), and never afraid of defending his opinion or saying amr ma’ruf nahy munkar. His involvement in educational development, also, made him be well-known as an educator, a reformer and an agent of development in northern Malaysia.
Keywords: role, ‘alim, educator, reformer, agent of development, and Islamic education
A. Introduction
When talking about the charismatic and popular ‘ulama in Malay peninsula, either in seminar or in oral and written media, Tuan Guru Haji Husein al-Banjari (well-known as Tuan Husein Kedah) has frequently been the topic. Firstly, most of his life had been dedicated in the field of education, so wherever he went and stayed he built, managed and taught at religious schools named sekolah pondoks or madrasahs. Secondly, he was a productive ‘alim, who wrote a lot of papers (risalah) and books (kitab) both in Arabic and in Malay. Thirdly, he was regarded as an ‘alim who was so strict and firmly-standing or istiqomah, hard-working and precise, that he was being in conflict even with his old friend to defend his arguments of being right in his view.
B. Backgound of His Life and Family
Tuan Guru Haji Husein, whose nick name when he was still a child, Cik Megat, Megat is a title traditionally given to a child of the royal family in Kedah Sultanate, whose father from a common people ( Rejab, 1992: 38; Abdullah, 2004, 2007: 101). That is why, he was the fifth generation of the great ‘ulama in Nusantara (Malay-Indonesian Archepelago), Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) whose origin or homeland from Kelampayan Martapura, South Kalimantan (Indonesia). His mother was Tengku Fatimah, a woman of the royal family from the sub-sultanate Kubang Pasu. She was a daughter of Tengku Mahmud of Bukit Tinggi (Malaysia). There were six brothers and two sisters in his family (Rejab, 1992: 38-40). From his marriage with Jahara binti Wahab, a daughter of a penghulu or a chief of sub-district in Pasir Panjang Laut Setiawan (Perak), Tuan Husein got two children. After his first wife died, he married again with Wan Khadijah binti Wan Jusoh, also a penghulu’s daughter from Mukim Bukit Pinang Kepala Batas (Kedah), who gave him a son, Ni’matullah Ahmad, and a daughter whose name is Siti Mariam (Rejab, 1992: 43).
When he was a child, he was educated at home and formally at sekolah pondok built by his grand father, Haji Muhammad Thayib, in Titi Gajah (Kedah) in 1870s. Syeikh Haji Muhammad Thayib was the third generation of Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. He was an ‘alim who was quite popular in Malay Paninsula. Beside building a religious school or sekolah pondok in Titi Gajah (Kedah), he was a sufi of Tariqat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. His work on Sufism or Tasawuf, Fathul Hadi (1282 H/1865 AD) became a prominent text for the followers of Naqsabandiyah Sufism. Also, he wrote a book on Theology, like Miftah al-Jannah fi Bayan al-‘Aqidah (1247 H/1832 AD), Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman (1297 H /1879 AD) and Bidayah al-Ghulam fi Bayan Arkan al-Islam. (Abdullah, n.d.: 1-4).
Being not satisfied with education he got at home and at his grand father’s school, after having permitted by his family particularly his grandfather, he then migrated to some places to study at various famous pondoks at that time. While learning, he frequently worked hard to earn his living. He was still young when he went to Patani (South Thailand), Kelantan, Trengganu, Johor, Malaka, Perak (all in Malaysia) and to Medan in North Sumatera and to Baturaja in Aceh (the two are in Indonesia). He learnt Islam of various subjects like Tauhid, Fiqh, Hadits and Tasawuf as well as Arabic. No information how long he had been in migration, but his return to his hometown (Titi Gajah in Kedah) in about 1890s (Rejab, 1992: 43).
In Patani, he learnt with a famous ‘ulama, Tuan Samela, at sekolah pondok in Samela. Also, he learnt with Haji Wan Mustafa bin Muhammad al-Fathani (Tok Bendang Daya I) and his son Syeikh Abdul Qadir (Tok Bendang Daya II) at Pondok Bendang Daya. While learning there, he was being closed friends with Wan Ismail bin Mustafa (Cik Doi) and Tok Kelaba (Abdullah, 2007: 101).
In 1310 H/1892 AD, he went to Mecca on his grand father financial support. When learning in Mecca, Syeikh Nawani al-Bantani, Tuan Ahmad Lingga, Syeikh Hasbullah and Syeikh Omar Sumbawa were among of his teachers. He learnt there together with Haji Mohd. Yusuf (Tok Kenali) from Kelantan, Haji Wan Sulaiman bin Wan Sidek (Pak Wan Sulaiman) from Kedah, who later became Syeikh al-Islam in the State of Kedah. In 1314 H or 1896 AD, Tuan Husein went back to Malaysia and continued his career in teaching as well as in leading his Islamic school at Pokok Sena (Rejab, 1992: 40-41).
In addition, his closed friend while in Mecca was Haji Muhammad Saleh (Pulau Pisang). Both studied under the supervising of some great ‘ulama like Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Rahman al-Fathani, Said Ahmad bin Zaini Dahlan, and Sayid Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Among the teachers to whom he had ever studied with in Mecca, Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani was the youngest teacher, whose age was approximately only seven or eight years older than they were (Abdullah, 2007: 2).
He died in Batu 16 Padang Lumat (Kedah) on Monday, Zulkaedah 13, 1354 H or Februari 10, 1936 AD in his seventy fourth (according to Islamic calendar) or about 72 years old based on al-Masih calendar. There is a different date when Tuan Husein Kedah died. According to Ishak Mohd. Rejab (1992), he died on Zulkaedah 17, 1354 H or 1935 AD. Conversely, according to Wan Mohd. Shaghir Abdullah (2004) he passed away on Zulkaedah 18, 1354 H or 1936 AD. His death was, however, tiered by a great number of people, those of the ‘ulama of his colleagues and his students, of the royal families of Kedah and Perak sultanates, and of the general public as well. He left his Islamic school or sekolah pondok he built that is presently well-known as Madrasah al-Khairiyah al-Islamiyah and headed by his son, Haji Ahmad bin Tuan Husein.
C. ‘Ulama and Development
The word ‘ulama is the plural form of Arabic word ‘alim, which literary means ‘a man of knowledge’. An ‘alim is a person who has ‘ilm or knowledge; and that, the ‘ulama means ‘the men of knowledge’ (Zaman, 1995: 258). In Malay world, ‘ulama is usually called guru, tok guru, tuan guru, like Tuan Guru Haji Husein Kedah.
In Islamic perspective, the word ‘ulama is found out in the Holy Qur’an twice, that is, in Surah al-Fathir 26 and Surah al-Syu’ara 197, and in al-Hadits (Prophet Traditions). According to the first Surah (al-Fathir), ‘ulama is related to the men who know or believe that Allah is Greatly Powerful (innama yakhsya Allah min ibadihi al-‘ulama). Since Allah is Great, they are fear not to worship Allah. Also, the word ‘fear’ (khasyyah) means ‘taqwa’; and that, the ‘ulama are the men of ‘taqwa’, who do the orders of Allah and avoid the prohibitions coming from Him. Otherwise, in Surah al-Syu’ara, ‘ulama means the Jew scholars or rabbis (awalam yakun lahum ayatan an ya’lamahu ‘ulama bani Israil) who had already known that there would be the Qur’an as stated in their Holy Book (Torah). Therefore, the ‘ulama refers to those who knew the existence of al-Qur’an through which the rabbis had wide knowledge about Islam (Hadariansyah, 2006: 99-103).
In al-Hadits, ‘ulama means those who heir the prophets (inna al-‘ulama warasat al-anbiya). What do they really heir? Of course, it is Islam, a Devine religion which is brought by Prophet Muhammad; and that, the ‘ulama are responsible to keep Islamic teachings not to be deteriorated by anyone and then teach them to whoever (Hadariansyah, 2005: 99).
In sociological perspective, ‘ulama is a social structure whose function because of their status in social life. Like other social structures, ‘ulama have to play the role(s) in a society to create stability, harmony as well as the unity of the people (Yusof, 2006: 122). In other words, ‘ulama could play their role as the agent of change or development.
Development, the term that is well-known today, is a global issue that has been studied more active since the Second World War. It is generally used in various fields of study and has quite different meanings. Some scholars have different concepts about development. Among them were great social scientists of the nineteen century like August Comte (1798-1858), Karl Marx (1818-1830), Edward Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917) and Max Weber (1864-1920). Comte, for example, said that there were three levels of periods or phases the human beings experience to develop or to get progress, that is, a phase of expansion, a phase of defense, and a phase of industrialization. Spencer said that human development moved from a low level to a high level of progress (Aziz, 2001: 35; Webster, 1984: 43). Although they are quite different in concept, the purpose of the theories they built are similar, that is, trying to identify the basic features of societies that promoted development.
In the twentieth century, came the new scientists who criticized, improved, and synthesized the theories and approaches of the 19th century like Alatas (1972), Ali (1976), Sunkel (1977), and Seers (1979). The theories they built do not merely study why such condition exists but also talk about the strategies and models of how to solve the problems (Aziz, 2001: 69).
Ali (1976) said that the development was a high achievement of any society in the field of economy that would be the strong basis of progress or improvement. Development is not only limited to the issue of economy but also other aspects of social life. Sunkel (1977) said that development was a process of transformation from a certain condition to other condition which was considered better. In addition, Seers (1979) emphasized the process of development should be directed to stop poverty, to decrease the number of unemployment, and to make closer of the gap between the rich and the poor countries, to lessen the dependence on the Super Powers economically and politically (Aziz, 2001: 59-60). Therefore, development covers various types of changing process that emphasizes on some factors like economy, politics, social such as health, transportation, education, and culture such as moral and value, etc.
According to Samuel P. Huntington, that the progress of any society or human beings leads to economy development, welfare of life, and democratization in politics. The key words of human progress are those of relating to the concepts of order, progress and social justice; managing solidarity, scarcity and human security (Noor, 2007: 6).
In relation to the concepts, there are at least two common theories of development, that is, Conservative (Traditional) and Progressive (Radical). The first theory describes that the existed system (tradition, costume, regulation, value, belief) is considered “just, good, secure, harmony”. Therefore, there is not any basis of conflict in society to develop. If any, it is only for special or limited change, for example, to decrease the poverty and prejudiced attitude to any minority group. However, the existing system basically functions to internalize the balance, the stability and the harmony in society. The second theory proposes that the existed system is considered exploited and oppressive, because there is a basis of conflict in it. Therefore, the alternatives to change some of the basic parts of the system are advised. Freedom, equality, and human dignity are intended for all people, not only for a certain group of people (Aziz, 2001: 72).
Whatever theories have established, the final goal of development is not merely to make a society (societies), a nation (nations), a country (countries) economically rich, to increase its Gross National Product (GNP) or its per-capita income, but to improve the life quality of the majority of people in cultural, political and social aspects as well. However, this is relevant to the opinion of Seers who emphasized the development of humanity. At the first level, he emphasizes to fulfill the basic needs of the people like food, clothes, housing, education and occupation. At the second level, it leads to develop self-esteem or self-actualization, and the last is leading to develop self–independence towards potential building of individuals to strengthen their own culture. This human power, according to Seers, is the final goal of development (Noor, 2006: 6). One of the efforts proposed by Seers, however, had been actuated by the ‘ulama as the agent(s) or the motivator(s) of development.
D. Tuan Guru Husein and His Educational Activities
What did Tuan Husein Kedah do, however, was an example to develop the quality of human beings or human recourses in term of educational perspective. He was not only an ‘alim but also an agent of development particularly through his educational activities in Malay peninsula in the nineteenth century.
There were two activities Tuan Guru Husein Kedah did to develop the quality of human resources. Firstly, his effort to develop the quality of himself, that is, through diligently learning. Secondly, his effort to develop the quality of others, that is, through teaching, leading several schools or sekolah pondoks, and writing.
It is said that Tuan Husein was an ‘alim of the nineteenth century who was serious, diligent and never hopeless. When he was 19 years old, he left his hometown for Patani (South Thailand) to study. Only on foot, he took a long journey to Patani. His main goal was nothing but to meet famous teachers or Islamic scholars, and to study Islam at some sekolah pondoks there. So was the way and the main goal he wanted to meet when he went to Kelantan. Not satisfied with knowledge he got in Patani and Kelantan, by tug boat he went to Trengganu and Singapore. He studied Islam only a little time in Trengganu, but never in Singapore because no Islamic school was suitable for him there. Instead of learning, he worked as a labour to earn his living and to save money for his next journey (Rejab, 1992: 41).
After that, he went to Medan (North Sumatera) and Kotaraja (Aceh) in Indonesia. Also, his main goal was to study Islam. No longer than a year, he studied there until he came back to Semananjung on board. By land he then went to Johor and Malacca. When he was on the way to Malacca, it is said that he had to swim Muar river. In Malacca, again he worked hard to support his own life. He stitched sagu or pith leaves for the house roofs and torn off the palm leaves for cigarette-wrappers while studying Islam and Arabic there (Aziz, 2001: 72).
To improve his knowledge, in 1892 AD he also went to Mecca although he was already married. Having finished learning in Mecca, he went back to his homeland in 1314 H/1896 AD and then paid fully attention in educational activities. He did not only teach at his sekolah pondok built by his grand father in Titi Gajah (Kedah), but also in its surroundings. From 1315 H / 1897 AD on, he had moved to teach for six times. Since 1315 H/1897 AD, he had not taught anymore in Titi Gajah. He taught in Alor Ganu until 1319 M/ 1900 AD. Three years later, that is in 1319 H/1900 AD, he started to teach in Bohor. He taught there for about 13 years long. It was said that it was the longest time he did teaching after coming back from Mecca. From 1331 H/1927 AD to 1340 H/1920 AD, he taught in Pantai Merdeka (Bagan Ulu). There, he taught about 7 years in length. After that, he moved to teach in Selengkoh (Sungai Limau). In 1344 H/1924 AD, he taught in Batu 16 (Padang Lumut). Finallly, he moved and taught in Pokok Sena or Seberang Prai (Aziz, 2001: 72).
It is said that there was a conflict that he had to leave Batu 16 to Pokok Sena. The conflict between him and his old friend who had ever studied altogether in Mecca was a serious one. There was a conflict between Tuan Husein and Tuan Haji Wan Sulaiman bin Haji Wan Sidek, his old friend while they were studying at Mecca. One of the reasons is that he criticized the teaching of Tariqat al-Naqshabandiyah al-Mujaddiyah done openly by Wan Sulaiman, the Syeikh al-Islam of Kedah State, to whoever including children and women, which according to Tuan Husein it would destroy the quality of the Tariqat itself. (Rejab, 1992: 47).
Only several years before he passed away, he went back to his kampong kelahiran (hometown), i.e., in 1354 H/1935 AD. He and his family stayed in Titi Gajah on the hope of his ex-student, Tengku Abdullah, the son of Tengku Mahmud bin Tengku Ahmad Tajuddin, the Presiden of State Council of Kedah at that time, and on the coaxing of his daughter, Siti Maryam.
In addition to teaching, he involved in opening some sekolah pondoks, like in Pokok Sena (Seberang Prai), Batu 16 (Padang Lumat). The religious school he established in Pokok Sena was a famous sekolah pondok in Malay peninsula, particularly in the north part of Malay. It had a lot of students and produced many ‘ulama, religious and political elites, not only from Malaysia but from Patani and Indonesia as well. Among the alumni were the late Syeikh Ismail Hamzah, a mufti in Perak, and Tuan Haji Wan Abdullah Zawawi bin Hj. Wan Muhammad, a qadhi in Perak. However, his involvement in educational activities was not merely in pioneering the opening of the schools, leading the schools and teaching, but also in reforming educational system.
Since 1934 AD, Tuan Husein had started the new era of Islamic educational system whose class and learning schedule instead of sekolah pondok educational system which used to apply traditional method of teaching and learning. He replaced the traditional system of khalaqah. In khalaqah educational system, the students of irrespective age and level sit in a cycle around a sheikh or a teacher. The teacher reads the text book (kitab) while the students are just listening. Also, he translates the book, mostly written in Arabic, into students’ national language or their mother tongue like Malay, Indonesian, Javanese, etc. but not for books written in Malay-Arabic or Bahasa Malayu-Jawi. If necessary, the teacher explained the lesson he taught based on the text book. in his sekolah pondok to an educational system of classical. Also, he introduced and used a learning schedule for his school (Awang, 2001: 361). So, various subjects were taught and studied there everyday. Such an educational reform, however, led him being one of few reformers in Islamic education, at least in his country in the beginning of 20th century. One of reformers of revivalists of Islamic education in Malay world was Haj Abas Mohamad from Trengganu, who was born in Besut (State of Trengganu) in 1909 and received awards as Tokoh Guru Trengganu (1990) and Tokoh Guru Kebangsaan (1991) due to his involvement in opening numbers of pondok, teaching at several schools, and modernizing (Islamic) educational system. (Rahman, 2006; 156-171).
Moreover, Tuan Husein donated sekolah pondok he had built. According to Ishak (1992), some of his property was religiously donated for the foundation of Islamic school or sekolah pondok in Pokok Sena (Seberang Prai) and sekolah pondok in Batu 16 (Padang Lumat). In addition, he donated for the foundation of the mosque and Muslim cemetery in Titi Gajah (Awang, 2001: 361). His generosity, however, has shown his dedication in the field of education in general, and in Islamic education in particular.
In writing activities, Tuan Husein Kedah, wrote many books (kitab) and papers (risalah) both in Arabic as well as in Malay. As an ‘alim, he had been successful in writing some books and papers, which he did among his activities in teaching and leading sekolah pondoks. Nearly 49 years, that was from 1305 M/1887 AD to 1354 H /1935 AD, he involved in writing. He succeeded in doing a lot of written works consisting of various papers and books of different subjects and topics. His works were mostly concerning Tauhid (Theology), Fiqh (Jurisprudence), Tasawuf (Sufism) and Arabic as the followings.
1. al-Nur al-Mustafid fi Aqa’id Ahl al-Tauhid, a book on Tauhid (1305 H/1887 M)
2. Bidayat al-Talibin, a book on Tasawuf (1344 H/ 1924 M)
3. Bunga Geti, a paper on ‘qada prayer (1354 H/ 1935 M)
4. Tabsirahli Uli al-Albab, a book on Tauhid (1351 H/1931 M)
5. Tazkiru Qaba’il al-Qadhi, a translation book of al-Kitab al-Hadist of Jawahir al-Bukhari (1343 H/1923 M)
6. Tafrih al-Sibyan, a book on the history of Prophet Muhammad’s birthday (1346 H/1926 M)
7. Tamrin al-Sibyan, a book on Tauhid (1318H/1899 M)
8. Tanbih al-Ikhwan fi Tadbir al-Maishah wa Taslih al-Buldan, a paper on the life and nation building (1354 H/1935 M)
9. Qatr al-Ghaithiah, a book on Sufism (1344 H/1924 M)
10. Kasr al-Iksir, a book on guidance of self-understanding (1340 H/1920 M)
11. Majmu al-La’ali li al Nisa wa al-Athfaliyi-, a book on questions and answers in Jurisprudence, two volumes, (1350 H/1933 M)
12. Malaqit al-Lamiyah wa al-Syarfiah, a book on Arabic grammar (1345 H/1925 M)
13. Hidayat al-Sibyan, a book on Tauhid and Ibadah (1330 H/1911 M)
14. Hidayat al-Ghilman, a Arabic book on Tauhid (1351 H/1932 M
15. Hidayat al-Athfal, a book on Tauhid (1336 H/1917 M)
16. Hidayat al-Mutafakirin, a book on Tauhid (1337 H/ 1918 M)
17. Hidayat al-Nikah, a paper on the law of Islamic marriage (1347 H/1928 M)
18. Usul al-Tauhid, a book on Tauhid and Fikih (1346 H/1927 M).
19. Nailul Maram fi ma Yujabu Husnul Khitam, a paper on the practice of zikir and wirid (1354 H).
Some sources are different in calculating the numbers of books Tuan Husein wrote. Ismail Awang (2001) says that there are 13 books, Ishak Mohd. Rejab (1992) says that there are 18 books, and Wan Mohd. Shaghir Abdullah (2007) says that the number of his works are 20 books. The difference of sources is quite logic because they wrote the books in different years. So, some papers (risalah) of Tuan Husein are not recorded. Also, there are some unfinished published books (kitab) that are not calculated, or the books consisting volumes that are only categorized one book.
As an ‘alim, of cource, Tuan Husein mastered various kinds of Islamic sciences. From his books and papers he wrote, it was understood that he knew well many aspects of Islam like Tauhid, Fiqh, Tasawuf including Arabic language. His mastery of Islam was also reckoned from his friends’recognization when he was debated by Tuan Guru Haji Mohd. Arsyad and Encik Ilyas from Pasir Panjang Laut Sitiawan (Perak) concerning Fiqh and Tauhid, by Tuan Guru Haji Muhammad Yunus Falwajibu, an ‘alim from Matang Sintuk Seberang Prai on many aspects of Islam (Rejab, 2001: 42-43).
During the debates, he used to defend his arguments well on the basis of his knowledge he studied both in Mecca and his hometown. His mastery on Islamic science made him acknowledged by other ‘ulama as an ‘alim who had a wide range of knowledge.
F. Conclusion
Relating to his great efforts, Tuan Husein al-Banjari was successful in making the members of the people in northern states of Malaysia become aware of the importance of education, particularly of the Islamic education. His involvement in pioneering the opening of numbers of Islamic schools (sekolah pondoks), leading the schools, teaching at schools and writing a lot of books (kitab) and papers (risalah) relating to various fields of Islamic studies, like Tauhid, Fiqh, Tafsir, Hadist and Tasawuf, made him be a popular ‘alim among the people both inside or outside of Malay paninsula. Also, from his Islamic schools, he produced some ‘ulama and elites whose significant role in religious, social and political activities in Malay during his life or in the following decades after his death.
IN DEVELOPMENT OF ISLAMIC EDUCATION IN NORTHERN MALAYSIA
by
Ahdi Makmur*
Abstract: This article tries to describe the role of Tuan Husein al-Banjari in developing Islamic education in northern Malaysia. He was not only involved in establishing and teaching at a number of Islamic schools or sekolah pondoks in States of Kedah, Perlis and Perak, like Sekolah Pondok Pokok Sena and Sekolah Pondok Padang Lumat, but also actively wrote some books (kitab) and papers (risalah) both in Arabic and Malay on various fields of Islamic studies, like Fiqh, Tafsir, Hadits, Tasawuf and Tauhid. His debates with other ‘ulama in Tanah Semenanjung made him famous as an ‘alim who mastered Islamic sciences, was self-esteem, firmly-standing (istiqomah), and never afraid of defending his opinion or saying amr ma’ruf nahy munkar. His involvement in educational development, also, made him be well-known as an educator, a reformer and an agent of development in northern Malaysia.
Keywords: role, ‘alim, educator, reformer, agent of development, and Islamic education
A. Introduction
When talking about the charismatic and popular ‘ulama in Malay peninsula, either in seminar or in oral and written media, Tuan Guru Haji Husein al-Banjari (well-known as Tuan Husein Kedah) has frequently been the topic. Firstly, most of his life had been dedicated in the field of education, so wherever he went and stayed he built, managed and taught at religious schools named sekolah pondoks or madrasahs. Secondly, he was a productive ‘alim, who wrote a lot of papers (risalah) and books (kitab) both in Arabic and in Malay. Thirdly, he was regarded as an ‘alim who was so strict and firmly-standing or istiqomah, hard-working and precise, that he was being in conflict even with his old friend to defend his arguments of being right in his view.
B. Backgound of His Life and Family
Tuan Guru Haji Husein, whose nick name when he was still a child, Cik Megat, Megat is a title traditionally given to a child of the royal family in Kedah Sultanate, whose father from a common people ( Rejab, 1992: 38; Abdullah, 2004, 2007: 101). That is why, he was the fifth generation of the great ‘ulama in Nusantara (Malay-Indonesian Archepelago), Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) whose origin or homeland from Kelampayan Martapura, South Kalimantan (Indonesia). His mother was Tengku Fatimah, a woman of the royal family from the sub-sultanate Kubang Pasu. She was a daughter of Tengku Mahmud of Bukit Tinggi (Malaysia). There were six brothers and two sisters in his family (Rejab, 1992: 38-40). From his marriage with Jahara binti Wahab, a daughter of a penghulu or a chief of sub-district in Pasir Panjang Laut Setiawan (Perak), Tuan Husein got two children. After his first wife died, he married again with Wan Khadijah binti Wan Jusoh, also a penghulu’s daughter from Mukim Bukit Pinang Kepala Batas (Kedah), who gave him a son, Ni’matullah Ahmad, and a daughter whose name is Siti Mariam (Rejab, 1992: 43).
When he was a child, he was educated at home and formally at sekolah pondok built by his grand father, Haji Muhammad Thayib, in Titi Gajah (Kedah) in 1870s. Syeikh Haji Muhammad Thayib was the third generation of Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. He was an ‘alim who was quite popular in Malay Paninsula. Beside building a religious school or sekolah pondok in Titi Gajah (Kedah), he was a sufi of Tariqat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. His work on Sufism or Tasawuf, Fathul Hadi (1282 H/1865 AD) became a prominent text for the followers of Naqsabandiyah Sufism. Also, he wrote a book on Theology, like Miftah al-Jannah fi Bayan al-‘Aqidah (1247 H/1832 AD), Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman (1297 H /1879 AD) and Bidayah al-Ghulam fi Bayan Arkan al-Islam. (Abdullah, n.d.: 1-4).
Being not satisfied with education he got at home and at his grand father’s school, after having permitted by his family particularly his grandfather, he then migrated to some places to study at various famous pondoks at that time. While learning, he frequently worked hard to earn his living. He was still young when he went to Patani (South Thailand), Kelantan, Trengganu, Johor, Malaka, Perak (all in Malaysia) and to Medan in North Sumatera and to Baturaja in Aceh (the two are in Indonesia). He learnt Islam of various subjects like Tauhid, Fiqh, Hadits and Tasawuf as well as Arabic. No information how long he had been in migration, but his return to his hometown (Titi Gajah in Kedah) in about 1890s (Rejab, 1992: 43).
In Patani, he learnt with a famous ‘ulama, Tuan Samela, at sekolah pondok in Samela. Also, he learnt with Haji Wan Mustafa bin Muhammad al-Fathani (Tok Bendang Daya I) and his son Syeikh Abdul Qadir (Tok Bendang Daya II) at Pondok Bendang Daya. While learning there, he was being closed friends with Wan Ismail bin Mustafa (Cik Doi) and Tok Kelaba (Abdullah, 2007: 101).
In 1310 H/1892 AD, he went to Mecca on his grand father financial support. When learning in Mecca, Syeikh Nawani al-Bantani, Tuan Ahmad Lingga, Syeikh Hasbullah and Syeikh Omar Sumbawa were among of his teachers. He learnt there together with Haji Mohd. Yusuf (Tok Kenali) from Kelantan, Haji Wan Sulaiman bin Wan Sidek (Pak Wan Sulaiman) from Kedah, who later became Syeikh al-Islam in the State of Kedah. In 1314 H or 1896 AD, Tuan Husein went back to Malaysia and continued his career in teaching as well as in leading his Islamic school at Pokok Sena (Rejab, 1992: 40-41).
In addition, his closed friend while in Mecca was Haji Muhammad Saleh (Pulau Pisang). Both studied under the supervising of some great ‘ulama like Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Rahman al-Fathani, Said Ahmad bin Zaini Dahlan, and Sayid Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Among the teachers to whom he had ever studied with in Mecca, Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani was the youngest teacher, whose age was approximately only seven or eight years older than they were (Abdullah, 2007: 2).
He died in Batu 16 Padang Lumat (Kedah) on Monday, Zulkaedah 13, 1354 H or Februari 10, 1936 AD in his seventy fourth (according to Islamic calendar) or about 72 years old based on al-Masih calendar. There is a different date when Tuan Husein Kedah died. According to Ishak Mohd. Rejab (1992), he died on Zulkaedah 17, 1354 H or 1935 AD. Conversely, according to Wan Mohd. Shaghir Abdullah (2004) he passed away on Zulkaedah 18, 1354 H or 1936 AD. His death was, however, tiered by a great number of people, those of the ‘ulama of his colleagues and his students, of the royal families of Kedah and Perak sultanates, and of the general public as well. He left his Islamic school or sekolah pondok he built that is presently well-known as Madrasah al-Khairiyah al-Islamiyah and headed by his son, Haji Ahmad bin Tuan Husein.
C. ‘Ulama and Development
The word ‘ulama is the plural form of Arabic word ‘alim, which literary means ‘a man of knowledge’. An ‘alim is a person who has ‘ilm or knowledge; and that, the ‘ulama means ‘the men of knowledge’ (Zaman, 1995: 258). In Malay world, ‘ulama is usually called guru, tok guru, tuan guru, like Tuan Guru Haji Husein Kedah.
In Islamic perspective, the word ‘ulama is found out in the Holy Qur’an twice, that is, in Surah al-Fathir 26 and Surah al-Syu’ara 197, and in al-Hadits (Prophet Traditions). According to the first Surah (al-Fathir), ‘ulama is related to the men who know or believe that Allah is Greatly Powerful (innama yakhsya Allah min ibadihi al-‘ulama). Since Allah is Great, they are fear not to worship Allah. Also, the word ‘fear’ (khasyyah) means ‘taqwa’; and that, the ‘ulama are the men of ‘taqwa’, who do the orders of Allah and avoid the prohibitions coming from Him. Otherwise, in Surah al-Syu’ara, ‘ulama means the Jew scholars or rabbis (awalam yakun lahum ayatan an ya’lamahu ‘ulama bani Israil) who had already known that there would be the Qur’an as stated in their Holy Book (Torah). Therefore, the ‘ulama refers to those who knew the existence of al-Qur’an through which the rabbis had wide knowledge about Islam (Hadariansyah, 2006: 99-103).
In al-Hadits, ‘ulama means those who heir the prophets (inna al-‘ulama warasat al-anbiya). What do they really heir? Of course, it is Islam, a Devine religion which is brought by Prophet Muhammad; and that, the ‘ulama are responsible to keep Islamic teachings not to be deteriorated by anyone and then teach them to whoever (Hadariansyah, 2005: 99).
In sociological perspective, ‘ulama is a social structure whose function because of their status in social life. Like other social structures, ‘ulama have to play the role(s) in a society to create stability, harmony as well as the unity of the people (Yusof, 2006: 122). In other words, ‘ulama could play their role as the agent of change or development.
Development, the term that is well-known today, is a global issue that has been studied more active since the Second World War. It is generally used in various fields of study and has quite different meanings. Some scholars have different concepts about development. Among them were great social scientists of the nineteen century like August Comte (1798-1858), Karl Marx (1818-1830), Edward Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917) and Max Weber (1864-1920). Comte, for example, said that there were three levels of periods or phases the human beings experience to develop or to get progress, that is, a phase of expansion, a phase of defense, and a phase of industrialization. Spencer said that human development moved from a low level to a high level of progress (Aziz, 2001: 35; Webster, 1984: 43). Although they are quite different in concept, the purpose of the theories they built are similar, that is, trying to identify the basic features of societies that promoted development.
In the twentieth century, came the new scientists who criticized, improved, and synthesized the theories and approaches of the 19th century like Alatas (1972), Ali (1976), Sunkel (1977), and Seers (1979). The theories they built do not merely study why such condition exists but also talk about the strategies and models of how to solve the problems (Aziz, 2001: 69).
Ali (1976) said that the development was a high achievement of any society in the field of economy that would be the strong basis of progress or improvement. Development is not only limited to the issue of economy but also other aspects of social life. Sunkel (1977) said that development was a process of transformation from a certain condition to other condition which was considered better. In addition, Seers (1979) emphasized the process of development should be directed to stop poverty, to decrease the number of unemployment, and to make closer of the gap between the rich and the poor countries, to lessen the dependence on the Super Powers economically and politically (Aziz, 2001: 59-60). Therefore, development covers various types of changing process that emphasizes on some factors like economy, politics, social such as health, transportation, education, and culture such as moral and value, etc.
According to Samuel P. Huntington, that the progress of any society or human beings leads to economy development, welfare of life, and democratization in politics. The key words of human progress are those of relating to the concepts of order, progress and social justice; managing solidarity, scarcity and human security (Noor, 2007: 6).
In relation to the concepts, there are at least two common theories of development, that is, Conservative (Traditional) and Progressive (Radical). The first theory describes that the existed system (tradition, costume, regulation, value, belief) is considered “just, good, secure, harmony”. Therefore, there is not any basis of conflict in society to develop. If any, it is only for special or limited change, for example, to decrease the poverty and prejudiced attitude to any minority group. However, the existing system basically functions to internalize the balance, the stability and the harmony in society. The second theory proposes that the existed system is considered exploited and oppressive, because there is a basis of conflict in it. Therefore, the alternatives to change some of the basic parts of the system are advised. Freedom, equality, and human dignity are intended for all people, not only for a certain group of people (Aziz, 2001: 72).
Whatever theories have established, the final goal of development is not merely to make a society (societies), a nation (nations), a country (countries) economically rich, to increase its Gross National Product (GNP) or its per-capita income, but to improve the life quality of the majority of people in cultural, political and social aspects as well. However, this is relevant to the opinion of Seers who emphasized the development of humanity. At the first level, he emphasizes to fulfill the basic needs of the people like food, clothes, housing, education and occupation. At the second level, it leads to develop self-esteem or self-actualization, and the last is leading to develop self–independence towards potential building of individuals to strengthen their own culture. This human power, according to Seers, is the final goal of development (Noor, 2006: 6). One of the efforts proposed by Seers, however, had been actuated by the ‘ulama as the agent(s) or the motivator(s) of development.
D. Tuan Guru Husein and His Educational Activities
What did Tuan Husein Kedah do, however, was an example to develop the quality of human beings or human recourses in term of educational perspective. He was not only an ‘alim but also an agent of development particularly through his educational activities in Malay peninsula in the nineteenth century.
There were two activities Tuan Guru Husein Kedah did to develop the quality of human resources. Firstly, his effort to develop the quality of himself, that is, through diligently learning. Secondly, his effort to develop the quality of others, that is, through teaching, leading several schools or sekolah pondoks, and writing.
It is said that Tuan Husein was an ‘alim of the nineteenth century who was serious, diligent and never hopeless. When he was 19 years old, he left his hometown for Patani (South Thailand) to study. Only on foot, he took a long journey to Patani. His main goal was nothing but to meet famous teachers or Islamic scholars, and to study Islam at some sekolah pondoks there. So was the way and the main goal he wanted to meet when he went to Kelantan. Not satisfied with knowledge he got in Patani and Kelantan, by tug boat he went to Trengganu and Singapore. He studied Islam only a little time in Trengganu, but never in Singapore because no Islamic school was suitable for him there. Instead of learning, he worked as a labour to earn his living and to save money for his next journey (Rejab, 1992: 41).
After that, he went to Medan (North Sumatera) and Kotaraja (Aceh) in Indonesia. Also, his main goal was to study Islam. No longer than a year, he studied there until he came back to Semananjung on board. By land he then went to Johor and Malacca. When he was on the way to Malacca, it is said that he had to swim Muar river. In Malacca, again he worked hard to support his own life. He stitched sagu or pith leaves for the house roofs and torn off the palm leaves for cigarette-wrappers while studying Islam and Arabic there (Aziz, 2001: 72).
To improve his knowledge, in 1892 AD he also went to Mecca although he was already married. Having finished learning in Mecca, he went back to his homeland in 1314 H/1896 AD and then paid fully attention in educational activities. He did not only teach at his sekolah pondok built by his grand father in Titi Gajah (Kedah), but also in its surroundings. From 1315 H / 1897 AD on, he had moved to teach for six times. Since 1315 H/1897 AD, he had not taught anymore in Titi Gajah. He taught in Alor Ganu until 1319 M/ 1900 AD. Three years later, that is in 1319 H/1900 AD, he started to teach in Bohor. He taught there for about 13 years long. It was said that it was the longest time he did teaching after coming back from Mecca. From 1331 H/1927 AD to 1340 H/1920 AD, he taught in Pantai Merdeka (Bagan Ulu). There, he taught about 7 years in length. After that, he moved to teach in Selengkoh (Sungai Limau). In 1344 H/1924 AD, he taught in Batu 16 (Padang Lumut). Finallly, he moved and taught in Pokok Sena or Seberang Prai (Aziz, 2001: 72).
It is said that there was a conflict that he had to leave Batu 16 to Pokok Sena. The conflict between him and his old friend who had ever studied altogether in Mecca was a serious one. There was a conflict between Tuan Husein and Tuan Haji Wan Sulaiman bin Haji Wan Sidek, his old friend while they were studying at Mecca. One of the reasons is that he criticized the teaching of Tariqat al-Naqshabandiyah al-Mujaddiyah done openly by Wan Sulaiman, the Syeikh al-Islam of Kedah State, to whoever including children and women, which according to Tuan Husein it would destroy the quality of the Tariqat itself. (Rejab, 1992: 47).
Only several years before he passed away, he went back to his kampong kelahiran (hometown), i.e., in 1354 H/1935 AD. He and his family stayed in Titi Gajah on the hope of his ex-student, Tengku Abdullah, the son of Tengku Mahmud bin Tengku Ahmad Tajuddin, the Presiden of State Council of Kedah at that time, and on the coaxing of his daughter, Siti Maryam.
In addition to teaching, he involved in opening some sekolah pondoks, like in Pokok Sena (Seberang Prai), Batu 16 (Padang Lumat). The religious school he established in Pokok Sena was a famous sekolah pondok in Malay peninsula, particularly in the north part of Malay. It had a lot of students and produced many ‘ulama, religious and political elites, not only from Malaysia but from Patani and Indonesia as well. Among the alumni were the late Syeikh Ismail Hamzah, a mufti in Perak, and Tuan Haji Wan Abdullah Zawawi bin Hj. Wan Muhammad, a qadhi in Perak. However, his involvement in educational activities was not merely in pioneering the opening of the schools, leading the schools and teaching, but also in reforming educational system.
Since 1934 AD, Tuan Husein had started the new era of Islamic educational system whose class and learning schedule instead of sekolah pondok educational system which used to apply traditional method of teaching and learning. He replaced the traditional system of khalaqah. In khalaqah educational system, the students of irrespective age and level sit in a cycle around a sheikh or a teacher. The teacher reads the text book (kitab) while the students are just listening. Also, he translates the book, mostly written in Arabic, into students’ national language or their mother tongue like Malay, Indonesian, Javanese, etc. but not for books written in Malay-Arabic or Bahasa Malayu-Jawi. If necessary, the teacher explained the lesson he taught based on the text book. in his sekolah pondok to an educational system of classical. Also, he introduced and used a learning schedule for his school (Awang, 2001: 361). So, various subjects were taught and studied there everyday. Such an educational reform, however, led him being one of few reformers in Islamic education, at least in his country in the beginning of 20th century. One of reformers of revivalists of Islamic education in Malay world was Haj Abas Mohamad from Trengganu, who was born in Besut (State of Trengganu) in 1909 and received awards as Tokoh Guru Trengganu (1990) and Tokoh Guru Kebangsaan (1991) due to his involvement in opening numbers of pondok, teaching at several schools, and modernizing (Islamic) educational system. (Rahman, 2006; 156-171).
Moreover, Tuan Husein donated sekolah pondok he had built. According to Ishak (1992), some of his property was religiously donated for the foundation of Islamic school or sekolah pondok in Pokok Sena (Seberang Prai) and sekolah pondok in Batu 16 (Padang Lumat). In addition, he donated for the foundation of the mosque and Muslim cemetery in Titi Gajah (Awang, 2001: 361). His generosity, however, has shown his dedication in the field of education in general, and in Islamic education in particular.
In writing activities, Tuan Husein Kedah, wrote many books (kitab) and papers (risalah) both in Arabic as well as in Malay. As an ‘alim, he had been successful in writing some books and papers, which he did among his activities in teaching and leading sekolah pondoks. Nearly 49 years, that was from 1305 M/1887 AD to 1354 H /1935 AD, he involved in writing. He succeeded in doing a lot of written works consisting of various papers and books of different subjects and topics. His works were mostly concerning Tauhid (Theology), Fiqh (Jurisprudence), Tasawuf (Sufism) and Arabic as the followings.
1. al-Nur al-Mustafid fi Aqa’id Ahl al-Tauhid, a book on Tauhid (1305 H/1887 M)
2. Bidayat al-Talibin, a book on Tasawuf (1344 H/ 1924 M)
3. Bunga Geti, a paper on ‘qada prayer (1354 H/ 1935 M)
4. Tabsirahli Uli al-Albab, a book on Tauhid (1351 H/1931 M)
5. Tazkiru Qaba’il al-Qadhi, a translation book of al-Kitab al-Hadist of Jawahir al-Bukhari (1343 H/1923 M)
6. Tafrih al-Sibyan, a book on the history of Prophet Muhammad’s birthday (1346 H/1926 M)
7. Tamrin al-Sibyan, a book on Tauhid (1318H/1899 M)
8. Tanbih al-Ikhwan fi Tadbir al-Maishah wa Taslih al-Buldan, a paper on the life and nation building (1354 H/1935 M)
9. Qatr al-Ghaithiah, a book on Sufism (1344 H/1924 M)
10. Kasr al-Iksir, a book on guidance of self-understanding (1340 H/1920 M)
11. Majmu al-La’ali li al Nisa wa al-Athfaliyi-, a book on questions and answers in Jurisprudence, two volumes, (1350 H/1933 M)
12. Malaqit al-Lamiyah wa al-Syarfiah, a book on Arabic grammar (1345 H/1925 M)
13. Hidayat al-Sibyan, a book on Tauhid and Ibadah (1330 H/1911 M)
14. Hidayat al-Ghilman, a Arabic book on Tauhid (1351 H/1932 M
15. Hidayat al-Athfal, a book on Tauhid (1336 H/1917 M)
16. Hidayat al-Mutafakirin, a book on Tauhid (1337 H/ 1918 M)
17. Hidayat al-Nikah, a paper on the law of Islamic marriage (1347 H/1928 M)
18. Usul al-Tauhid, a book on Tauhid and Fikih (1346 H/1927 M).
19. Nailul Maram fi ma Yujabu Husnul Khitam, a paper on the practice of zikir and wirid (1354 H).
Some sources are different in calculating the numbers of books Tuan Husein wrote. Ismail Awang (2001) says that there are 13 books, Ishak Mohd. Rejab (1992) says that there are 18 books, and Wan Mohd. Shaghir Abdullah (2007) says that the number of his works are 20 books. The difference of sources is quite logic because they wrote the books in different years. So, some papers (risalah) of Tuan Husein are not recorded. Also, there are some unfinished published books (kitab) that are not calculated, or the books consisting volumes that are only categorized one book.
As an ‘alim, of cource, Tuan Husein mastered various kinds of Islamic sciences. From his books and papers he wrote, it was understood that he knew well many aspects of Islam like Tauhid, Fiqh, Tasawuf including Arabic language. His mastery of Islam was also reckoned from his friends’recognization when he was debated by Tuan Guru Haji Mohd. Arsyad and Encik Ilyas from Pasir Panjang Laut Sitiawan (Perak) concerning Fiqh and Tauhid, by Tuan Guru Haji Muhammad Yunus Falwajibu, an ‘alim from Matang Sintuk Seberang Prai on many aspects of Islam (Rejab, 2001: 42-43).
During the debates, he used to defend his arguments well on the basis of his knowledge he studied both in Mecca and his hometown. His mastery on Islamic science made him acknowledged by other ‘ulama as an ‘alim who had a wide range of knowledge.
F. Conclusion
Relating to his great efforts, Tuan Husein al-Banjari was successful in making the members of the people in northern states of Malaysia become aware of the importance of education, particularly of the Islamic education. His involvement in pioneering the opening of numbers of Islamic schools (sekolah pondoks), leading the schools, teaching at schools and writing a lot of books (kitab) and papers (risalah) relating to various fields of Islamic studies, like Tauhid, Fiqh, Tafsir, Hadist and Tasawuf, made him be a popular ‘alim among the people both inside or outside of Malay paninsula. Also, from his Islamic schools, he produced some ‘ulama and elites whose significant role in religious, social and political activities in Malay during his life or in the following decades after his death.
Rabu, 15 Februari 2012
Langganan:
Postingan (Atom)