Entri Populer

Minggu, 19 Februari 2012

ISLAM INDONESIA DAN DIALOG ANTAR PERADABAN

 ISLAM INDONESIA DAN DIALOG ANTAR PERADABAN
Oleh: Humaidy

ABSTRAK
Benturan peradaban Islam dengan Peradaban Modern akan teradi dalam waktu yang tidak terlalu lama kata Samuel P. Huntington. Wacana ini banyak direspon berbagai kalangan terutama oleh kaum agawan dan intelektual muslim yang tidak setuju bahkan menolak ramalan tersebut. Penolakan tersebut memang ada benaarnya, tapi ramalan Huntington juga tidak terlalu salah. Jika dalam peradaban Islam dominant kaum muslimin yang intoleran dan dalam peradaban Barat dominant yang arogan benturan peradaban itu kemungkinan besar akan terjadi, sebaliknya ramalan Huntington tidak terjadi (keliru besar).  Untuk semakin menjawab ramalan Huntington tersebut perlu adanya dialog antar peradaban dan Indonesia bisa menjadi actor penting sebagai penganut Islam terbesar di dunia.
Kata Kunci :     Benturan Peradaban, Islam Intoleran Barat, Arogan dan dialog antar Peradaban.
Samuel P. Huntington pada tahun 1993 telah melontarkan ramalannya bahwa di dunia yang sudah mengglobal ini akan terjadi benturan peradaban (clash of civilization) terutama antara peradaban Barat dan peradaban Islam. (Huntington: 1998: 17) Tesis kontroversial sekaligus propokatif ini, telah mengundang begitu banyak tanggapan, gugatan dan bahkan hujatan dari berbagai negara melalui suara beberapa tokohnya.
Perdebatan wacana kemudian marak bergulir, dialektika terus mengalir, perang ide terjadi sangat seru dan geger, dari sejak pemunculannya sampai hari ini. Di antara tokoh para penanggap yang terdiri dari berbagai kalangan, barangkali intelektual agamawan adalah pihak yang paling keras menolak—dalam ekspresi kritis dan nada menghujat—gagasan yang mereka anggap tidak sekedar propokatif, melainkan sudah mengarah subversif, karena terkesan pada satu sisi sangat mendiskreditkan Islam dan pada sisi yang lain terlalu mengagungkan Barat. Di negara asalnya (Amerika Serikat) saja, tesis ala Huntington ini dikritik habis-habisan terutama oleh pakar-pakar ilmu dan aktifis sosial dari beragam sudut pandang. Asumsinya disorot, metodenya digugat, modelnya dikritisi, pendekatannya dikuliti dan datanya dicermati, hingga posisi keintelektualannyapun sempat diragukan dan dihujat.
Pada dasarnya yang menjadi titik sentral semua kritikan—kalau boleh diperas dan disimpulkan— terutama terkait dengan signifikansi tesis tersebut terhadap sensitivitas terhadap persoalan agama, budaya, sosial dan politik pasca perang dingin. Atas semua kritikan, gugatan dan hujatan itu, Huntington tidak serta merta menerimanya dan ia tak bergeming dari pendapatnya semula, bahkan ia masih mengunggulkan tesisnya (benturan peradaban Barat dan peradaban Islam) sebagai sebuah paradigma yang tetap reliable dan valid sebagai sarana menerangkan fenomena politik dunia global kontemporer dan masa depan. Huntington, tidak hanya bersikukuh dengan tesisnya itu, bahkan ia melakukan serangan balik bahwa semua kritikan, gugatan dan hujatan pada dirinya, sebenarnya muncul dari ketidak-pekaan dan ketidak-tahuan dalam menangkap apa yang disebut Habermas sebagai Zeitgeist (ruh zaman atau tanda-tanda zaman) sehingga keliru penafsiran dan over-estimate (prasangka berlebihan) terhadap apa yang ia tawarkan.
Ada dua alasan yang sangat ditekankan Huntington yakni arogansi Barat dan intoleransi Islam yang paling besar berperan bagi terjadinya benturan peradaban (Huntington: 1998: 17) terutama benturan peradaban Barat dengan peradaban Islam. Jika Barat tidak arogan dan Islam toleran atau Barat arogan dan Islam toleran atau Barat tak arogan dan Islam tidak toleran, maka kemungkinan besar tidak akan pernah terjadi benturan peradaban. Persoalannya bagaimana caranya untuk merumuskan Islam yang toleran, sehingga diharapkan tidak akan terjadi benturan peradaban Barat dengan peradaban Islam. Tulisan ini berupaya untuk ke arah sana, yakni bagaimana Islam Indonesia bisa berperan dalam dialog antar peradaban ?.

Peradaban dan Kebudayaan
Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban seringkali diberi arti sama dengan kebudayaan. Berbeda dengan bahasa Inggris, kata keduanya tidak bisa dikatakan sama, yakni civilization untuk kata peradaban dan culture untuk kata kebudayaan. Demikian juga dalam bahasa Arab hadlarah, tamaddun, ‘umran untuk kata peradaban dan tsaqafah untuk kata kebudayaan.  (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007: 13). Sebagian ahli peradaban mengatakan bahwa kebudayaan dipakai untuk menunjuk pada satu tahapan tertentu dari kemajuan dari suatu peradaban. Sebagian yang lain berpendapat bahwa peradaban merupakan tingkat perkembangan lebih lanjut atau lebih tinggi dari kebudayaan. Soerjono Soekanto (Guru Besar Sosiologi UI) mengatakan bahwa perbedaan kebudayaan dengan peradaban hanya terletak pada kemajuan dan kesempurnaan. Biasanya kebudayaan masyarakat yang telah mencapai taraf perkembangan tekhnologi yang lebih tinggi disebut sebagai peradaban. Hal ini senada dengan pendapat Effat Syarkai (cendikiawan Mesir) dalam uraian lebih rinci bahwa kebudayaan terefleksi dalam seni, sastra, religi dan moral, sedangkan peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.(Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007: 13)
Menurut Koentjaraningrat (Guru Besar Antropologi UGM) kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud yakni 1. Wujud Ideal yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleksitas ide, gagasan, nilai, norma, aturan dan sebagainya; 2. Wujud kelakuan, yaitu tata kelakuan yang terpola pada manusia dalam masyarakat; 3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Adapun istilah peradaban biasanya diapakai untuk menyebutkan bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah, berupa sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir : 2007: 14)
Sementara itu, menurut Nourouzzaman Shiddiqi (Guru Besar SKI UIN Sunan Kalijaga), kebudayaan adalah perpaduan yang terdiri atas cipta, rasa dan karsa. Kebudayaan berangkat dari akal batin manusia yang mendorong lahirnya pikiran-pikiran manusia untuk menciptakan kesenian, kesusastraan, moral dan lain-lain yang memenuhi hasrat manusia akan keindahan dan kebahagiaan hidup. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir : 2007: 14) Karena itu pula kebudayaan merupakan salah satu factor yang mengarahkan manusia dalam kehidupan, baik pada bidang agama, filsafat, ilmu pengetahuan politik, ekonomi, social, moral dan sebagainya. Oleh karena itu secara ringkas kebudayaan dapat pula diartikan sebagai perkembangan kecerdasan akal manusia pada suatu ruang dan waktu, sedangkan peradaban mengandung konotasi mengajar manusia hidup dalam satu masyarakat yang beradab, berprikemanusiaan, bersusila, berdisiplin dan sebagainya sesuai dengan derajat manusia sebagai makhluk termulia dan bermartabat tinggi. Dari pemahaman tersebut, peradaban dapat diartikan sebagai bentuk lahir dari perilaku manusia sebagai hasil dari dorongan kebudayaan yang berangkat dari akal batin dan proses pendidikan. (Humaidy Abdussami, Masnun Tahir: 2007 : 15)  



Kemudian, Huntington secara lebih konperehensip dan detail merumuskan tentang unsur yang harus ada dalam peradaban. Menurutnya terdapat semacam satu kesepakatan dari berbagai ahli peradaban,— meskipun mereka berbeda perspektif, metodologi, titik tekan dan konsep-konsepnya—sekurang-kurangnya pada lima hal. Pertama, sebuah pembedaan -pembedaan dapat ditemukan di antara pelbagai peradaban, baik yang singular maupun yang plural. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif dan barbar. Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban adalah buruk. Kedua, sebuah peradaban adalah sebuah identitas kultural, tetapi bukan berarti kebudayaan sama dengan peradaban. Memang peradaban dan kebudayaan sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia, yang mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi dan pola-pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Namun peradaban lebih dari itu, ia lebih luas daripada kebudayaan, di samping berbagai kesamaan yang telah disebutkan tadi ia juga ditambah pelbagai faktor seperti faktor-faktor mekanis, teknologi, material termasuk di dalamnya kualitas intelektual dan moral yang lebih tinggi dari suatu masyarakat. Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat konperehensif yang tidak satupun dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Huntington memperkuat pendapat ini dengan mengutip Arnold Toynbee yang mengatakan bahwa setiap peradaban ternyatakan tanpa ternyatakan oleh yang lain. Sebuah peradaban adalah sebuah totalitas dari entitas paling luas dari kebudayaan yang terdiri dari perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis, nasionalitas-nasionalitas dan pelbagai kelompok keagamaan yang heterogin. Keempat, peradaban bersifat fana, tetapi juga hidup sangat lama; ia berkembang, beradaptasi, dinamis, memuncak, mundur, jatuh dan bangkit kembali atau mati sama sekali. Kelima, karena peradaban merupakan kumpulan entitas kultural bukan kumpulan entitas politik, maka ia tidak berpegang pada tatanan, penegakan keadilan, kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai negosiasi atau menetapkan kebijakan-kebijakan yang biasa dilakukan oleh sebuah pemerintahan. Namun ia berpijak pada kerja peradaban itu sendiri yang mencakup pelbagai faktor dan dimensi dengan berlandaskan atas semangat kebersamaan, kebaikan dan kemajuan. (Huntington: 1998: 38-46).
Jadi jelaslah sudah dari uraian para ahli peradaban di atas, bahwa peradaban lebih luas daripada kebudayaan. Dalam peradaban pasti sudah mencakup kebudayaan, tetapi dalam kebudayaan tidak dan belum mencakup peradaban. Keluasan peradaban bukan saja mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, aturan-aturan, ilmu pengetahuan, filsafat, seni, religi dan sebagainya yang menjadi wilayah cakupan kebudayaan, tetapi juga mencakup ekonomi, politik, teknologi dan sebagainya yang merupakan hasil lebih halus, indah dan maju dari kerja-kerja kebudayaan tadi. Lebih dari itu, peradaban juga mencakup beberapa kebudayaan, dua sampai beberapa wilayah, gabungan nasionalitas-nasionalitas, kumpulan etnis, kompleksitas keagamaan yang keseluruhannya mempunyai heterogenitas berderajat tinggi.

Islam bagian Peradaban Dunia

Peradaban dunia disimpulkan Melko -setelah meninjau kembali berbagai literatur yang berkaitan dengannya, terdiri dari kurang lebih 15 peradaban besar, tujuh peradaban di antaranya tidak lagi eksis yakni peradaban Mesopotamia, Mesir, Kreta, Klasik, Byzantium dan Atlantic, sedangkan peradaban yang masih hidup dan masih berkembang adalah peradaban Tionghoa, Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat, Amerika Latin dan Afrika. Berikut penjelasan lebih lanjut dari delapan peradaban besar yang masih eksis di atas :
Peradaban Tionghoa, diakui semua sarjana telah berkembang sejak 1500 SM, bahkan mungkin beribu-ribu tahun sebelumnya, dan terus berkembang selama berabad-ibad sebelum munculnya peradaban Kristen (Byzantium). Peradaban Tionghoa, tidak saja fnenggambarkan budaya Cina yang ada di Tiongkok (RRC), tetapi mencakup pula komunitas-komunitas Cina yang tinggal di luarnya.
Peradaban Jepang yang diakui muncul kurang lebih antara tahun 100 dan 400 M ian terus berkembang menjadi peradaban yang sangat maju bahkan bisa menandingi dan pada beberapa aspek mengungguli peradaban Barat
Peradaban Hindu atau sering juga disebut Peradaban India adalah salah satu peradaban yang secara universal diakui keberadaannya dan muncul di India sejak kurang lebih 1500 SM. Dalam salah satu atau lain bentuk, Hinduisme merupakan pusat kultur India sejak milineum kedua sebelum Masehi. la lebih dari sekedar sebagai agama atau sistem sosial, melainkan juga inti peradaban India.
Peradaban Islam diakui semua sarjana besar sebagai suatu peradaban tersendiri. Peradaban Islam berasal dari semenanjung Arabia dan pada abad VII M menyebar secara sepat sampai ke Afrika Utara, semenanjung Iberia (Spanyol), kemudian memasuki Asia rengah, Anak Benua India dan Asia Tenggara. Sebagai hasilnya adalah pelbagai kebudayaan merasuk ke dalam Islam termasuk di dalamnya kebudayaan Arab, Persia lurid, Mongol, India, Barbar dan Melayu.
Peradaban Ortodoks dibedakan beberapa sarjana sebagai suatu peradaban tersendiri, yang terpusat di Rusia yang memisahkan diri dari peradaban Kristen Barat yang berasal dari Byzantium dan kemudian sempat menjadi sebuah agama yang berada di bawat kekuasaan bangsa Tartar selama 200 tahun.
Peradaban Barat yang muncul sekitar 700 atau 800 M dan sampai sekarang terus berkembang menjadi peradaban paling maju yang melebihi peradaban-peradaban lainnya. Pusat dari peradaban ini berada di Eropa dan Amerika Utara.
Peradaban Amerika Latin memiliki identitas yang membedakannya secara nyata dari peradaban Barat. Meskipun ada beberapa titik kesamaan dengan peradaban Barat tetapi peradaban Amerika Latin memiliki alur perkembangan tersendiri. la memiliki kebudayaan korporatis dan otoritarian yang berderajat tinggi, sementara peradaban Baral meskipun ada, tetapi dalam derajat yang sangat rendah bahkan ada sebagian wilayahnya seperti Amerika Utara tidak pernah memiliki atau mengalaminya sama sekali. Peradabar Barat (Eropa dan Amerika Utara) sama-sama merasakan pengaruh dari reformasi dar kemudian memadukan kebudayaan Katolik dan Protestan. Peradaban Amerika Latin secarc tiistoris, meskipun mengalami perubahan juga tetap sepenuhnya Katolik. Peradabar Amerika Latin memiliki pelbagai kebudayaan penting (yang tidak ditemukan di Eropa dar Amerika Utara),yang tersebar di Amerika Tengah dari Meksiko, Peru, Bolivia sampai Brasil, Argentina dan Cili.
Peradaban Afrika diakui sebagian besar sarjana sebagai peradaban tersendiri meskipun ia sudah memiliki peradaban Islam dan peradaban Barat, tetapi ia juga


kumpulan entitas budaya yang berasal dari pelbagai suku dengan segala keragamannya dari Afiika Utara sampai Afrika Selatan dan dari Afrika Timur sampai Afrika Barat. (Huntington: 1998: 47-52)
Jadi gambaran peradaban dunia sebenarnya adalah gambaran utuh dari seluruh entitas peradaban yang masih eksis atau katakanlah kumpulan dari delapan peradaban yang ada. (Sungguh bagus juga diakui bahwa peradaban terdahulu yang sudah tidak eksispun punya kontribusi, seberapapun kecilnya). Tak bisa dikatakan sebagai peradaban dunia, kalau meninggalkan atau menafikan salah satu dan beberapa dari bagian 8 peradaban tersebut, apalagi hanya diklaim oleh satu peradaban saja—misalnya peradaban Barat. Hal itu, suatu yang tidak logis dan mengada-ada atau sekurang-kurangnya terlalu arogan yang sebenarnya bertentangan dengan semangat dan ruh peradaban itu sendiri.
Memang dalam perkembangan percaturan politik peradaban sekarang ini, telah menghasilkan apa yang disebut Vaclav Havel sebagai peradaban global atau oleh V.S. Naipaul dikatakan sebagai peradaban universal yakni adanya penerimaan secara umum terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, orientasi-orientasi, perilaku-prilaku dan institusi-institusi oleh jiwa kemanusiaan dan manusia di seluruh dunia. Hal ini ditandai, pertama telah dimilikinya kesadaran moral yang hampir sama, konsep-konsep dasar moralitas yang tidak jauh berbeda, tentang apa yang benar dan yang salah atau yang adil dan tidak adil. Seperti lahimya berbagai ketentuan produk PBB dan badan internasional lainnya hasil dari kesepakatan hampir seluruh negara di dunia. Kedua, adanya kesadaran bersama terhadap pentingnya budaya baca-tulis sebagai fondasi peradaban untuk menuju kepada kemajuan kemanusiaan. Ketiga, adanya kesadaran berbagi budaya intelektual atau budaya ilmiah yang dijalankan oleh sebagian besar negara Barat dan sebagian kecil negara non-Barat. Seperti setiap tahunnya sekitar seribu usahawan, bankir, pegawai pemerintahan, kaum intelektual dan para jurnalis dari pelbagai penjuru dunia bertemu dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss untuk memecahkan berbagai masalah ekonomi dengan berbagai tinjauan disiplin ilmu. Keempat, adanya universalisasi budaya populer di seluruh dunia yang memang banyak diintrodusir dari peradaban Barat dan sebagian dari peradaban non-Barat. Seperti mendunianya mengenakan pakaian jeans, minum Coke atau Coca Cola, mendengarkan musik rap, menonton film Hollywood, memakai TV, Video, kamera, motor, mobil dan peralatan mekanik-elektronik lainnya buatan Jepang, Cina, Italia, Inggris, Jerman, Perancis dan Amerika atas dukungan sarana-sarana komunikasi global dari hasil perkembangan teknologi canggih informasi dan transfortasi. Kelima, semakin mendunianya bahasa Inggris karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia yang memakainya sebagai komunikasi antar budaya, lingua franca (bahasa pergaulan) antar negara dan bahasa yang digunakan pelbagai ilmu pengetahuan. Keenam, spiritualitas agama yang mengglobal, yakni dimensi kebatinan dan nilai etik berbagai agama yang semakin banyak digandrungi masyarakat dunia sebagai sarana mengembalikan hakikat kemanusiaan dan fondasi terpenting suatu peradaban. Seperti maraknya masyarakat Eropa dan Amerika mengkaji, menghayati dan mengamalkan Tasawuf dari Islam, Yoga dari Budha, Semedi dari Hindu, Etika dari Konfiisianisme-Taoisme-Shintoisme, Asketik dari Kristen-Yahudi dan Kebatinan agama-agama suku dengan membentuk berbagai perkumpulan-perkumpulan spiritual.(Huntington: 1998: 75-92).
Percaturan politik antar peradaban, di samping melahirkan peradaban universal yang telah diurai lengkap oleh Naipaul barusan tadi, juga melahirkan klaim dari sebagian masyarakat Barat yang arogan bahwa semuanya itu berasal dari upaya-upaya masyarakat Barat dan produk peradaban Barat. Mereka mendaku telah berjasa membantu menyejajarkan perluasan dominasi politik dan ekonomi terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat. Pada penghujung abad XX, peradaban Barat secara perlahan-lahan menjadi kiblat peradaban dunia dan banyak ditiru, bahkan telah diterima baik secara sukarela maupun terpaksa oleh komponen peradaban lainnya. Peradaban Barat telah menjadi peradaban universal atau paling tidak peradaban universal sesungguhnya berlandaskan ideologi Barat yang memang telah mengalami kemajuan pesat mengalahkan peradaban lainnya berkat penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, tata ekonomi dan tata politik global, lantas seolah-olah sudah merasa menguasai dunia. Lebih dari itu, setelah runtuhnya komunisme Soviet yang berarti kemenangan universal demokrasi liberal Barat di seluruh dunia.
Sudah barang tentu klaim sepihak ini menuai banyak reaksi terutama dari sebagian masyarakat Islam yang intoleran, khususnya kalangan Islam Fundamentalis. Kelompok ini balik mengklaim bahwa peradaban dunia akan baik kalau sudah menerima nilai-nilai Islam, dengan mengajukan apologi bahwa peradaban Islam sejak lahir sampai abad pertengahan bahkan hingga sekarang mempunyai keunggulan, bila dibandingkan dengan peradaban lainnya, termasuk peradaban Barat Islam agama yang lengkap dan telah mencakup semua aspek kehidupan manusia,12 ia sudah pernah dalam sejarah terutama pada masa puncak keemasannya menjadi kiblat dan memimpin peradaban dunia. Mereka tidak mengakui sedikitpun peradaban Barat telah memajukan kemanusiaan dan peradaban dunia, justru sebaliknya dituduh sebagai perusak dan racun mematikan, makanya harus ditolak, dimusuhi, diperangi dan disingkirkan karena sangat bertentangan dan bahkan membahayakan bagi nilai-nilai Islam.
Dari sini, terbentuklah dua kutub ekstrim yang saling berseberangan satu sama lain dalam mempertahankan diri. Pada satu pihak, sangat bangga dengan peradaban Barat dan mengklaim peradaban universal merupakan miliknya, serta memusuhi peradaban Islam yang dianggap menghalangi kemajuan. Sebaliknya pada pihak lain, justru bersikap sangat mengagungkan peradaban Islam dan antipati terhadap peradaban Barat termasuk peradaban universal. Di antara kedua belah pihak, tidak saja terjadi permusuhan yang tersembunyi, tetapi juga permusuhan terbuka. Pertentangan ini sangat sulit dipertemukan, apalagi sampai bisa didamaikan, rasanya jauh panggang dari api (merupakan harapan yang hampir sia-sia atau sulit digapai), justru yang terjadi sebaliknya mereka sudah perang wacana (gazwah fikri), perang kejiwaan (psywar atau gazwah ruhi) dan perang fisik (gazwah nafsi atom jihad ashgar) dengan menggunakan senjata. Rupa-rupanya kedua belah pihak ini, masih melestarikan dan memelihara dendam sejarah. (Hamid Fahmy Zarkasyi: 2008: 6) Semacam traumatik permusuhan antara peradaban Islam dan peradaban Barat masa lalu yang berjalan cukup lama. Pada satu sisi, pihak Barat yang arogan masih menyimpan luka lama, ketika Islam pernah menaklukkan Spanyol (kerajaan Kristen yang menjadi salah satu basis peradaban Barat) dan seringkali memperoleh kemenangan dalam beberapa gelombang perang Salib. Pada sisi lain, pihak Islam yang intoleran, masih bersemayam memori permusuhan dalam ingatan, ketika negeri-negeri muslim mengalami penjajahan dan penindasan dari bangsa-bangsa Barat. Rupa-rupanya luka-luka sejarah yang sudah lama berlalu masih belum sembuh betul dan belum sempat terobati dengan baik sehingga sekarang terkoyak lagi untuk mencari pemuasannya. Kalau hal ini, dibiarkan berlanjut tanpa ada upaya untuk meredam dan melakukan perbaikan, maka ramalan Huntington tentang akan terjadinya benturan peradaban antara peradaban Barat dan peradaban Islam, betul-betul akan menjadi kenyataan.
Untungnya, dua pihak yang saling bertentangan ini bukan merupakan refsentasi masing-masing peradaban, hanya merupakan riak-riak kecil yang tak berarti, tetapi bersuara sangat vokal sehingga seolah-olah telah mewakili suara mayoritas. Mayoritas masyarakat Islam masih banyak yang toleran karena dalam Islam sikap toleran kepada orang lain tidak sekedar pantas-pantasan, tetapi ajaran yang wajib dilaksanakan. Dalam perspektif masyarakat Islam toleran ini, peradaban Islam diletakkan sebagai bagian pelengkap dari peradaban dunia, bukan tandingan apalagi alternatif bagi peradaban dunia yang lebih baru. la secara obyektif mengakui keunggulan dan kemajuan peradaban Barat termasuk sumbangan besamya terhadap terwujudnya peradaban universal, tetapi tanpa menghilangkan sifat kritisnya karena bagaimanapun hebatnya suatu peradaban, tak bisa dimutlakkan, mesti terdapat kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Demikian juga terhadap peradaban Islam, dilakukannya otokritik memang sedang mengalami kemunduran dari berbagai bidang dan mungkin sangat sedikit berperan dalam mewujudkan peradaban universal, tetapi tidak membuatnya berkecil hati dan pesimis karena dalam keyakinannya bagaimanapun gelapnya sebuah peradaban, mungkin masih ada titik terangnya yang memberi hikmah dan harapan termasuk berupaya untuk mau belajar dengan peradaban Barat yang memang lebih maju dan unggul. Artinya, mereka tidak melihat peradaban Islam, peradaban Barat dan peradaban lainnya secara berlebihan, tidak apresiatif secara gelap mata dan tidak juga membenci atau mencinta secara membabi buta.(Hamid Fahmy Zarkasyi: 2008: 6) Tak ada salahnya, antar peradaban untuk saling belajar, bahkan suatu yang patut dan niscaya dilakukan karena masing-masing peradaban yang menjadi bagian peradaban dunia itu merupakan satu-kesatuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain, meskipun bisa dibedakan entitasnya satu persatu. Memang masing-masing peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Namun suatu peradaban tidak mungkin lahir dan berkembang tanpa bersentuhan, saling meminjam dan saling menyerap dengan peradaban lainnya. Kekuatan salah satu atau beberapa peradaban adalah kekuatan bersama dari peradaban dunia. Sebaliknya, kelemahan salah satu atau beberapa peradaban adalah juga kelemahan bersama dari peradaban dunia. Ukuran penilaian kuat-lemahnya suatu peradaban tidak diukur lagi pada unit masing-masing peradaban, melainkan pada kaitan kesatuannya yang menyeluruh. Makanya, peradaban universal yang muncul tidak bisa dan tak pantas diklaim oleh salah satu peradaban, meskipun peradaban itu berperanan besar. la tetap saja milik bersama karena merupakan hasil bersama dan memprosesnya bersama-sama pula, bahkan tujuannyapun untuk kesejahteraan bersama. Apalagi pada kenyataannya peradaban universal tidak semata-mata kontribusi peradaban Barat, tetapi juga terdapat kontribusi dari peradaban Islam, peradaban Tionghoa, peradaban Jepang, peradaban Hindu, peradaban Ortodoks, peradaban Amerika Latin dan peradaban Afiika.
Dalam konteks ini, Islam harus berinisiatif dan proaktif melakukan dialog peradaban. Pentingnya melakukan dialog peradaban ini, meniscayakan dua hal utama; Pertama, dalam tingkat personal, setiap individu hendaknya menyadari bahwa ia diciptakan Tuhan dalam keadaan berbeda-beda, baik warna kulit, bahasa, suku, bangsa, budaya maupun agama. Dalam konsepsi dialog, masing-masing individu mencari titik temu antara perbedaan tersebut dengan memperkecil rasa kebencian terhadap orang lain. Dari paradigma itu, faktor yang sangat mendukung adalah pengetahuan dan wawasan berpikir. Setiap orang hendaknya memperluas pergaulan dan wawasan dengan proses pembacaan yang terus-menerus, sehingga terjadi dialog antar personal dari masing-masing wakil peradaban (terutama peradaban Islam dan peradaban Barat).
Kedua, dalam skala kolektif atau global. Dalam tingkatan ini perlu diciptakan equilibrium dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara. Kolektifitas harus dipahami sebagai upaya untuk membangun tatanan masyarakat (lokal dan internasional) yang kukuh, sehingga harus diciptakan kerjasama yang dinamis dan humanis. (Milad Hanan: 1999: 24).
Kedua hal utama itu, mengandaikan adanya dialog peradaban yang mampu melahirkan kesadaran global, yakni diperlukan adanya diplomasi perdamaian menuju kestabilan dunia yang abadi. Dengan demikian, sikap membenci yang lain dan ketegangan-ketegangan akan dapat dieliminir bahkan akan dapat dihapus sama sekali. Antar peradaban akan teqadi hubungan kemitraan dalam semangat persaudaraan sejati. Peran Islam Indonesia
Untuk mencapai kondisi yang sudah diuraikan di atas, yakni umat Islam yang toleran dengan meletakkan peradabannya sebagai bagian peradaban dunia dan setiap peradaban memiliki saling keterkaitan satu sama lain. Lebih dari itu, antar peradaban mempunyai hubungan kemitraan atas dasar persaudaraan sejati, karena semuanya memang suatu yang berkesinambungan, maka di sini Islam harus rendah hati, untuk mengedepankan nilai universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam. Bukannya penonjolan pada ajaran ritus-ritus, simbol-simbol dan formalistik Islam yang kering dari nilai kemanusiaan dan kebersamaan telah nyata-nyata gagal dalam membangun peradaban, apalagi sampai menggagas dialog antar peradaban.
Saya berpendapat Islam Indonesia punya kesempatan besar untuk berperan dalam dialog peradaban mengingat Indonesia merupakan negara yang penduduk muslim terbanyak di dunia. Di samping itu pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia samasekali berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah. Saya punya kesan bahwa pemikiran Islam yang berkembang di Timur Tengah dikuasai oleh pandangan yang mendudukkan Islam semata-mata sebagai norma. Padahal manakala Islam normatif memasuki wilayah kesejarahan, maka antara yang satu dengan yang lain akan berbeda. Sedangkan pemikiran Islam Indonesia sangat bersentuhan dengan budaya lokal sehingga tidak eksplosif, tetapi lebih historis dan yang lebih penting lagi dimensi kulturalnya lebih matang. Ini tidak saja terlihat secara perorangan misalnya pada diri Mukti Ali, Cak Nur, Ahmad Wahib, Gus Dur, Johan Effendy, Gus Mus, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Ali Yafi, Hasyim Muzadi, Sahal Mahfodz, Masdar Farid Mas'udi, Syafii Ma'arif, Amin Abdullah. Machasin, tetapi juga secara institusi seperti NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Saya kira Islam Indonesia mampu mengedepankan nilai universalisme dan kosmopolitanisme Islam. Adapun universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Salah satu ajaran yang dengan sempuma menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur agama (al~ kutub al-fiqhiyaK) lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik (hifdh al-nafs) warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hokum,(2) keselamatan keyakinan agama (hifdh aUdin) masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan {hifdh al-nasl), (4) keselamatan harta dan milik pribadi (hifdh al-mal) di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan untuk bebas berpikir (hifdh al aql) dan menjalankan profesi.(Budhy Munawar Rachman: 1994: 545-552). Di samping itu, menciptakan pula kondisi kosmopolitanisme kreatif dalam peradaban Islam yang setiap orang bebas berpikir, sampai pada yang belum terpikirkan dan tak terpikirkan, sekalipun. Di sini Islam ditampilkan sebagai kekuatan transformatif tanpa nama Islam. Dalam konteks ini Gus Dur mengemukakan: "Islam tidak selayaknya harus berhadapan dengan ideologi-ideologi transformatif manapun di dunia, karena ia harus juga melakukan transformatifhya sendiri... yang terjadi adalah hubungan simbiotik dengan sebuah kesadaran transformatif tanpa nama yang lalu mewujudkan diri dalam kesadaran pelestarian lingkungan, pengembangan keswadayaan, penegakan demokrasi tanpa merinci terlebih dahulu bentuk sistemiknya dan sebagainya.(Hassan Hanafi : 1991: x)
Sayangnya pemikiran keislaman Indonesia yang semacam ini di panggung internasional relatif baru dikenal. Bahkan, boleh dikatakan belum diadaptasi oleh orang luar, karena miskin publikasi ke dalam bahasa-bahasa internasional (Inggris, Prancis dan Arab). Di samping itu, sedikit sekali ulama dan intelektual Indonesia yang aktif dalam perbincangan event-event internasional. Jika dua hal ini, lebih digalakkan pada masa-masa mendatang saya kira Islam Indonesia akan sangat berperan dalam dialog antar peradaban. Bisa dikatakan, kalau peran ini bisa diraih oleh Indonesiaa, insya Allah ramalan Huntington tentang benturan Peradaban Islam dengan Peradaban Barat tak akan terjadi dan tidak akan menjadi kenyataan. Semoga.











DAFTAR  PUSTAKA



Hanan, Milad,  Qabul Yasar, Kairo: Dar al-Syuruq, 1999.
Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M, 1991.
Humaidy, Masnun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama, Yogyakarta: LKiS, 2007
Rachman, Budhy Munawar, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.
Samuel, Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (London: Touchstone Book, 1998...
 Zarkasyi, Hamid Fahmy, "Memahami Barat", dalam Jurnal Islamia Vol. Ill, No. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar